SIVA SIDHANTA II
JNANA TATTVA
IHDN DENPASAR
Dosen pengampu :I Ketut Pasek Gunawan S.Pd.H
Oleh kelompok II:
1.Gede Angga Damendra 10.1.1.1.1 3828
2.I Putu Kris Juniardi 10.1.1.1.1 3829
3.Kadek Handara 10.1.1.1.1
3830
4.Luh Apriantini 10.1.1.1.1 3831
5.Kadek Iwan Suarcahyana 10.1.1.1.1 3832
6.Komang Sudiasa 10.1.1.1.1 3833
7.I Gst Putu Arya Wibawa 10.1.1.1.1 3834
8.Ni Kadek Cintiani 10.1.1.1.1 3836
9.Ni Luh Nopiani 10.1.1.1.1 3837
10.Ni Made Dwi Septiandari 10.1.1.1.1 3840
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
TATTWA
JNANA
(Oleh :
kelompok 2 )
I.
Pendahuluan
Tattwa
jnana artinya pengetahuan tentang tattwa. Tattwa ini dimulai dengan cetana yang
sadar dan acetana yaitu yang tidak sadar. Cetana adalah Siwa Tattwa sedangkan
acetana adalah Maya Tattwa. Siwa Tattwa terdiri atas Paramasiwa Tattwa,
sedangkan Sadasiwa Tattwa dan Atmika Tattwa.
Paramasiwa Tattwa adalah Bhatara Siwa yang niskala, Tuhan yang serba
tidak : tidak terikat oleh ruang dan waktu, memenuhi alam semesta. Sadasiwa
tattwa adalah Bhatara Siwa yang wayapara (aktif), memiliki aktivitas berupa
sarwajna (serba tahu), sarwakaryakarta (serba kerja),. Ada empat
kemahakuasaan-Nya disebut Cadu Sakti yaitu : Jnana Sakti, wibhu Sakti, Prabhu
Sakti dan Kriya Sakti. Jnana Sakti dibedakan atas duradarsana (melihat jauh),
durasrawana (mendengar jauh), dan Duratmaka (berpribadi jauh, yaitu mengetahui
pikiran yang dekat dan jauh). Wibhu sakti yang artinya maha kuasa dan kriya
sakti artinya maha pencipta.
Bhatara
Sadasiwalah bergelar Bhatara Adripramana, bhatara jagatnatha, bhatara Guru dan
sebagainya. Atmika Tattwa Bhatara Sadasiwa Tattwa yang mempunyai sifat
Utaprota. Uta (terjalin dalam, tenunan) ialah Bhatara Sadasiwa yang menyusupi
Maya Tattwa. Prota (terangkat dalam tenunan) ialah Bhatara Sadasiwa yang
memenuhi Maya Tattwa, melekat dan diliputi oleh Maya Tattwa itu, sehingga tidak
tampak wujud yang sebenarnya. Sebagai Atmika Tattwa, bhatara siwa adalag Sang
Hyang Atma Wisesa, Sang Hyang Dharma.
Anak
Maya Tattwa adalah Pradhana Tattwa yang mempunyai sifat-sifat lupa berlainan
dengan sifat Sang Hyang Atma yaitu sadar. Bila sifat sadar bertemu dengan sifat
lupa, maka hal itu disebut prdhana-purusa yang melahirkan citta dan guna. Citta
adalah bentuk kasarnya Purusa sedangkan guna adalah penjelamaan Pradhana
Tattwa. Ada tiga guna yaitu sattwa, rajah, dan tamah. Tri Guna menentukan akan
mendapatakan apa atma itu, apakah kemoksaan , sorga atau lahir menjadi manusia.
Pertemuan Tri Guna dengan Citta melahirkan Buddhi. Buddhi itu adalah bentuk
kasarnya Tri Guna yang diberi kesadaran oleh Citta. Dari Buddhi lahirlah
Ahangkara.
Bhatara
yang dijunjung memberi kesadaran pada Sang Hyang Atma, Sang Hyang Atma pada
citta, citta pada Ahangkara. Ahangkara yang sifatnya mengaku aku, ada tiga
macamnya yaitu weikreta, taijasa dan bhutadi. Waikreta adalah buddhi sattwa
yang menimbulkan adanya manah dan dasendria. Bhutadi adalah buddhi
Tamagmenimbulkan adanya Panca Tanmantra. Dari panca tanmantra timbullah panca
mahabhuta. Bila berpadu dengan Guna, panca mahabhuta membentuk Andabhuana yaitu
Bhur Loka, Bwah Loka. Swah Loka, Jnana Loka, Maha Loka dan Satya Loka.
Di
saming alam diatas terdapat alam bawah yaitu : patala, waitala, nitala,
mahatala, sutala, talaa-tala, dan rasatala. Dibawah sapta patala ini terdapat
balagardaba mahanaraka, di bawahnya terdapat kalagnirurudra.
Taijasa
adalah buddhi Rajah, membantu kerja waikreta dan bhutadi. Bhtara junjungan
manusia, menyusupi alam semesta, menciptakan manusia dengan perantaraan Kriya
Saktinya. Atma berada di turyapada, jagrapada, suptapada, mengalami sengsara.
Suatu wujud atma adalah atma yang berhubungan dengan ahamkara yang menimbulkan
adanya Panca TanMantra, panca mahabhuta, dan manah. Manah direflesikan pada
atma sehingga atma menjadi panca atma. Orang yang ditempati oleh bhatara siwa
memiliki atma wisesa. Walaupun atma orang Atma Wisesa ia harus melaksanakan
tapa brata, semadhi. Pada waktu semadhi bhatara siwa akan menyatakan diri-Nya.
Pada binatang tidak ada atma wisesa itu. Ia lebih banyak digerakkan oleh wayu,
idep dan sabda. Wayu, dan idep itu meresapi seluruh tubuh manusia yang diberi
kesadaran oleh atma dalam kadar yang berbeda-beda. Yang menyebabkan
perbedaan-perbedaan itu ialah asubha karma. Atma yangb berada dijagrapada dan
turyapada adalah atma yang luput dari subhasubhakarma karena kesuciannya.
Sedangkan atma yang berada di suptapada adalah atma sengasara karena
terus-menerus lahir menjadi dewata, manusia dan binatang. Ia selalu
diombang-ambing oleh pikiran yang berangan-angan. Adapun turyapada dan
turyanpada itu sukar dijangkau oleh pikiran karena halusnya.
Untuk
menentukan sesuatu dapat digunakan Tri Pramana yaitu, Pratyaksa, Anumana dan
agama pramana. Turyanpada hanya dapat dibaynagkan dengan agama pramana.
Atma-atma itulah yang lahir menjdai manusia, tinggal di badan manusia meresap
dalam sadrasa yang membangun tubuh manusia. Namun tubuh itu dasarnya dibangun
dari Panca Mahabhuta. Sebenarnya tubuh itu juga merupakan tiruan alam besar
karena bagian-bagian tubuh itu dapat dibandingkan dengan sapta bhuana, sapta
patala, sapta parwata, sapta arnawa, dan sapta dwipa.
Bila
dalam alam besar terdapat banyak sungai, maka dalam badan terdapat semacam
sungai yanag disebut Nadhi. Tenaga geraka tubuh itu disebut wayu. Jumlahnya
sepuluh disebut Dasa Wayu. Semuanya itu dihidupi oleh Sang Hyang Atma yang
membagi-bagi dirinya dalam menghadapi bagian-bagian tubuh itu, maka atma membagi melalui
dasendrya dan manah. Lalu para dewa dan para Rsi juga menempati bagian-bagian
tubuh kita seperti bhatara Brahma menempati empedu dan sebagainya, dan tri guna
menjdai Gandarwa Daitya, Bhutapisaca dan Sang Hyang Atma adalah Pradhana Tattwa
yang disebut Ambek. Ambek dan tubuh itu disebut Angga Pradhana. Dari ambeklah
timbulnya suka duka, baik dan buruk. Ambeklah yang menikmati obyek
kenikmatannya, kembalikan ke dalam ambek, ambek ke dalam Pramana, pramana ke
dalam Dharma Wisesa, Dharma Wisesa ke dalam Anta Wisesa, anta Wisesa ke dalam
Anta Wisesa.
Cara
mengembalikan itu ialah dengan Prayoganya yang dapat dilaksanakan dengan
tuntunan Samyagjnana. Samyagjnana hanya akan diperoleh melalui tapa., yoga dan
semadhi. Yang dimaksud dengan Prayogasandhi adalah asana, Pranayama,
Pratyahara, Dharana, Dhyana, Tarka, dan semadhi. Bila sang Yogiswara telah
menemukan semadhi itu, ia katakan telah memiliki kastaiswaryan. Astaiswarya itu
meliputi : anima, laghima, mahima, prapti, prakamya, isitiwa, wasitwa, dan
yatrakama-wasayitiwa. Bila endapan sattwa sudah tidak ada lagi, maka pada saat
itulah Sang Yogiswara berpisah dengan panca mahabhuta dan kembali menyatu
dengan bhatara paramasiwa.
1.1. Tattwa Jnana
Tattwajnana menggunakan bahasa Jawa Kuna
yang disusun dalam bentuk bebas (Gancaran). Sebagai kitab Tatwa disebutkan
bahwa Tatwajnana merupakan dasar semua Tatwa (bungkahing tattwa kabeh).
Pemahaman Tattwajnana
secara baik akan memberikan pahala yang luar biasa seperti memahami betapa
menderitanya menjelma dan (mengetahui jalan) untuk kembali pada asal mula,
sehingga lepas dari proses kelahiran sebagai manusia (luputeng janma sangsara).
Tattwajnana dalam menjelaskan
ajarannya dimulai, dengan memaparkan dua unsur universal yang ada di dalam raya
ini yaitu Cetana
dan Acetana.
Cetana adalah unsur kesadaran (consciousness) yang disebut dengan Siwatatwa yang memiliki
sifat tutur prakasa. Sedangkan Acetana adalah unsur ketidaksadaran (unconsciousness) yang disebut Mayatatwa yang memiliki
sifat lupa, tan pajnana, tan pacetana. Cetana atau Siwatattwa ada 3
tingkatannya yaitu : Paramasiwatatwa, Sadasiwatattwa, dan Atmikatattwa (Milik Pemerintah Provinsi Bali, 2003)
a.
Paramasiwatattwa adalah Bhatara Siwa dalam keadaan tanpa
bentuk (khastityan bhatara ring niskala) yang tidak tersentuh oleh apapun.
b.
Sadasiwatattwa adalah Bhatara Siwa yang sudah mulai
tersentuh oleh sarwajna, sarwakaryakarta, cadusakti dan jnana sakti. Ia disebut Bhatara Adipramana, Bhatara Jagatnata, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara, Bhatara Guru, Bhatara Mahulun, Bhatara Wasawasitwa. Ia berkuasa
untuk mengadakan dan meniadakan, tetapi ia sendiri tidak diciptakan.
c.
Atmikatatwa adalah Sadasiwatatwa yang Utaprota dalam Mayatatwa (Acetana). Uta artinya ia
berada secara gaib dalam Mayatattwa bagaikan api dalam kayu. Prota artinya ia berkeadaan bagaikan permata bening
cemerlang dalam Mayatattwa. Tetapi karna dibungkus oleh warna merah Mayatattwa menyebabkan
sifat sarwajnana, sarwakaryakarta, cadusakti, jnana saktiNya menjadi hilang.
Karena itu disebut Atmikatatwa, Atma Wisesa, atau Bhatara Dharma yang menjadi roh semua yang ada tanpa pilih kasih, bagaikan
matahari secara adil memberikan sinarnya kepada semua yang ada.
Karena ada keinginan untuk melihat wastusakala, maka
dipertemukanlah Atma dengan Pradhanatattwa (anak dari Mayatattwa). Atma perwujudan tutur (kesadaran) dan Pradhana perwujudan lupa
(ketidaksadaran). Bertemunya tutur dengan lupa disebut Pradhanapurusa. Pada saat
pertemuannya itu melahirkan cita dan guna. Cita lahir pada purusa, guna lahir
dari Pradhana. Guna adalah tiga
perinciannya yaitu : Sattwa, Rajah dan Tamah. Ketiganya disebut Triguna. Guna ini berpengaruh terhadap cita
sehingga disebut cita satwa, citaraja dan cita tamah.
Guna sangat berpengaruh terhadap sifat sesorang satu
sama lain berbeda tergantung pada kadar guna yang ada pada diri seseorang. Bila
satwa dominan ada cita akan menimbulkan sifat-sifat yang baik, tahu salah dan
benar yang dapat mengantar seseorang pada kamoksan. Bila rajah dominan pada
citta akan menimbulkan sifat-sifat yang kurang baik. Namun bila rajah bertemu
denagn sattwa akan menyebabkan mencapai sorga. Bila sattwa, rajah dan tamah
sama-sama domninan menyebabkan terlahirkan sebagai manusia.
Pada saat Triguna bertemu dengan citta, maka lahirlah Budhi dan dari budhi lahir ahamkara.
Ahamkara dibedakan menjadi tiga yaitu: ahamkara waikreta, taijasa dan
bhutadi. Ahamkara waikreta mengadakan
manah dan dasendriya (pancaindria dan panca kamendriya). Ahamkara butadi
mengadakan pancatanmantra. Dari panca tanmantra lahir panca mahabhuta.
Sedangkan ahamkara taijasa membantu kerja ahamkara waitkreta dan bhutadi.
Bercampurnya pancamahabhuta dengan guna melahirkan ada bhuana, seperti
saptaloka (alam atas) dan sapta patala (alam bawah). Bhatara Siwa menyusupi alam
semesta, kemudian dengan kriya saktinya manusia diciptakan. Ketika atma
berhubungan dengan ahamkara menimbulkan panca tanmantra, panca maha bhuta dan
manah. Dihubungkannya atma dengan manah menyebabkan atma dibedakan menjadi lima
yang disebut dengna panca atma.
Seseorang yang ditempati oleh Bhatara Siwa akan memiliki atma
wisesa. Berbeda dengan binatang, tidak memiliki atma wisesa. Ia hanya memiliki
bayu, sabda idep. Hal itu juga ada pada manusia dan diberikan kesadaran oleh
atma dalam kadar yang berbeda-beda tergantung pada subha asubha karmanya. Atma
yang berada di alam jagra dan turya luput dari pengaruh subha asubha karma itu.
Sedangkan atma yang berada di alam susupta terkena pengaruh subha asubha karma
sehingga harus mengalami proses kelahiran karena selalu diombang ambingkan oleh
pikiran. Alam turya dan turyanta sulit di jangkau oleh pikiran karena
kehalusannya, tetapi dapat ditentukan melalui tri pramana. Alam turyanta hanya
dapat dibayangkan dengan agama pramana.
Tubuh manusia dibangun oleh inti sari zat makanan yang
disebut sadrasa. Pada dasarnya tubuh ini dibangun oleh panca mahabhuta. Tubuh
ini disebut dengan bhuana alit, alam kecil, yang sebenarnya tiruan dari bhuana
agung, alam besar. Karena itu, sapta bhuana, sapta patala, sapta parwata, sapta
arnawa, sapta dwipa, dalam bhuana agung ditemukan pula pada bagian-bagian tubuh
manusia. Sungai-sungai dalam bhuana agung diwujudkan dengan nadi dalam tubuh
yang jumlahnya sangat banyak. Dalam tubuh juga terdapat wahyu yang merupakan
tenaga penggerak tubuh. Dan kesemuanya itu dihidupi oleh atma.
Tubuh ini didiami oleh atma, juga dewa-dewa menempati
bagian tubuh manusia, seperti Brahma menempati hati, Wisnu menempati empedu, dan Iswara menempati jantung, dsb. Pancaresi, Dewaresi, Saptaresi , para dewata,
gandarwa, pisaca turut juga menempati tubuh manusia. Kesemuanya itu turut
memberi warna sifat-sifat manusia. Pradanatattwa adalah badan atma pada tubuh manusia
yang disebut dengan ambek. Sedangkan tubuh itu sendiri disebut dengan angga.
Bersatunya angga dengan ambek disebut angga pradana. Ambek lah yang menimbulkan
suka duka, baik buruk. Ambek lah penikmat semua obyek keindahan melalui
dasensriya. Karena itu , dasendriya harus ditarik dari obyeknya dengan
mengembalikannya dengan ambek. Ambek dikembalikan kepada pramana. Pramana
kedalam dharma wisesa. Dharma wisesa kedalam antawisesa. Antawisewa kedalam
anantawisesa.
Untuk mengembalikan kepada anantawisesa Tatwajnana mengajukan
jalan Prayogasandhi yaitu
asana, pranayama, prakyahara, darana, dayana, tarka dan samaddi. Proyogasandhi akan dapat dilaksanakan
apabila dituntun oleh Samyagjnana (pengetahuan yang benar). Samyagjnana diperoleh melalui bumi brata, tapa, yoga dan samadhi.
Kesemuanya itu akan mempertajam panah prayoga sandhi dan mengarahkannya pada
sasaran secara tepat. Dengan bebasnya atma dari semua selubung atma,
warna-warna Mayatattwa,
maka pada, saat berpisahnya atma dari panca maha bhuta akan kembali pada sumber
asalnya (mantukatrisangkandya), Bhatara Paramasiwa (Milik Pemerintah Agama Hindu, 2003).
Inilah yang
patut diperhatikan oleh seseorang abdi dharma, yang ingin bebas dari
kesengsaraan penjelmaan. Ada sanghyang Tattwa jnana namanya, itulah hendaknya
engkau ketahui terlebih dahulu, beserta dewatanya. Hendaklah engkau pahami
dengan baik akan sanghyang tattwa jnana itu. Tentu engkau akan memahami
kesengsaraan penjelmaan ini dan akan kembali ke asalnya. Apakah yang disebut
sanghyang tattwa jnana itu ?barangkali demikianlah pertanyaan orang kebanyakan. Hanya ada sanghyang tattwa
jnana namanya yang menjadi dasar semua Tattwa. Manakah itu? Demikian Cetana, Acetana. Cetana ialah :
jnana yaitu : mengetahui, ingat, ingat akan kesadaran yang tidak berubah
menjadi lupa. Acetana ialah: lupa, bingung tak memiliki kesadaran. Cetana dan
Acetana itulah disebut Siwatattwa. Cetana adalah Siwattwa dan acetana adalah
Mayattwa. Sama-sama kecil dan halusnya. Mayattwa lebih rendah dari siwattwa.
Mayattwa tidak memiliki cetana, tidak memiliki jnana, hanya lupa tidak memiliki
kesadaran. Ketiadaan sebagai badannya, kosong bebas tiada yang merintangi. Lupa
tak ingat apapun, demikianlah sifat-sifat Mayattwa. Siwattwa mempunyai
sifat-sifat sadar jernih bercahaya. Yang disebut Siwattwa ada tiga macamnya,
yaitu :Paramasiwattwa, Sadasiwattwa, Atmikatattwa.
Paramasiwatattwa ialah Bhatara dalam keadaan tanpa
bentuk, tidak bergerak, tidak guncang, tidak pergi, tidak mengalir, tidak ada
asal, tidak ada yang dituju, tidak berawal, tidak berakhir, hanya tetap tak
bergerak tenang tanpa gerak. Diam dan kekal. Seluruh alam semesta ini dipenuhi,
diliputi, disangga, disusupi seluruh sapta bhuwana ini oleh-Nya. Sapta-patala
disusupi sepenuh-penuhnya, tiada ruang yang terisi, penuh terisi alam semesta
ini olehnya. Tidak dapat dikurangi tidak dapat ditambahi. Tanpa karya, juga
tanpa tujuan. Tidak dapat diganggu oleh perbuatan baik ataupun buruk. Tak dapat
dikenal keseluruhannya. Dan ia tidak mengenal masa lalu, masa yang akan dating
dan masa kini. Tidak dirintangi oleh waktu, selalu siang tidak sesuatu yang
hilang kepada-Nya. Ia kekal abadi. Demikianlah sifat-sifat
BhataraParamasiwatattwa. Itulah keberadaan Bhatara di alam niskala. Ialah
Bhatara Paramasiwatattwa.
Inilah
Sadasiwatattwa namanya. Bhatara Sadasiwatattwa bersifat wyapara. Wyapara
artinya Ia dipenuhi oleh sarwajna ( serba tahu ) dan sarwakaryakarta ( serba
kerja ). Sarwajna sarwakaryakartha ialah padmasana sebagai tempat duduk
Bhatara, yang disebut Chadusakti, yaitu :Jnanasakti, wibhusakti, prabhusakti,
kryasakti. Itulah yang disebut Chadusakti. Jnanasakti tiga jenisnya, yaitu :
duradarsana, durasrawana, duratmaka.duradarsana ialah melihat yang jauh dan
yang dekat. Durasrawana ialah mendengar suara yang jauh dan yang dekat.
Duratmaka ialah mengetahui perbuatan yang jauh dan yang dekat. Itulah yang
disebut Jnanasakti. Wibhusakti ialah taka da kekurangannya diseluruh alam
semesta ini. Prabhusakti ialah tak dapat dirintangi segala yang dikehendakinya.
Kryasakti adalah mengadakan seluruh alam semesta ini, terlebih-lebih para
dewata semuanya, seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Pancarsi, Saptarsi, Dewarsi,
Indra, Yama waruna, kubera, Wesrawana, Widyadhara, Gandharwa, Danawa, Daitya,
Raksasa, Bhutayaksa, Bhutadengen, Bhutakala, Bhutapicasa, demikian pula alam
ini, prthiwi ( tanah ), apah ( air ), teja ( cahaya ), wayu ( udara ), akasa (
ether ), bulan, matahari, planet, itulah semua karya Bhatara Sadasiwatattwa
dialam sakala ialah : Sanghyang sastra, agama, ilmu pengetahuan mantra (waidya), ilmu logika (
tarka ), ilmu tata bahasa ( wyakarana ), ilmu hitung ( ganita ),. Demikianlah
karya Bhatara Sadasiwatattwa. Ia berkuasa atas seluruh alam ini. Ialah yang
memiliki alam sakala dan niskala. Ialah Bhatara Adipramana namanya, Bhatara
Jagatnatha, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara, Bhatara Guru, Bhatara Mahulun,
Bhatara Wasawasitwa,. Ia menciptakan, namun ia sendiri tidak diciptakan. Ialah
yang berkuasa untuk mengadakan dan meniadakan. Tidak ada yang dapat mengalahkan
kekuasaannya. Ialah Bhatara Gurunya guru. Demikianlah sifat-sifat Bhatara
Sadasiwatatwa.
Inilah yang
disebut dengan Atmikatattwa. Bhatara Sadasiwatattwa dengan ciri-cirinya
utaprota. Uta ialah sebagai halnya api yang berada dalam kayu api, api dalam
kayu bambu itu tidak tampak. Demikianlah halnya Bhatara Sadasiwatattwa yang
menyusupi mayatattwa. Tak tampak tak ketahuan. Ia mengembang memenuhi
mayatattwa. Prota ialah seperti halnya permata sphatika, bening jernih
berkilauan terang tidak diliputi apapun. Lalu ia dilekati warna, maka
berubahlah warna permata itu, ditutupi oleh warna yang melekat pada mayatattwa.
Tidak tampak tidak dapat dikenal lagi ia memenuhi mayatattwa. Karena ditutupi
oleh warna yang melekat pada permata itu.
Maka itu
pisahkanlah permata itu dengan warna itu. Pada waktu itulah permata itu kembali
pada warnanya yang bening. Warna yang melekat tadi akhirnya akan kembali pada
wujudnya semula. Demikianlah halnya Bhatara Sadasiwatattwa, yang menyusupi memberikan
kesadara pada mayatattwa. Sifat mayatattwa itu kotor (mala). Itulah yang
dipandang dihiasi dan dilekati oleh kotor (mala). Itulah sebabnya seperti
hilang sakti Bhatara akhirnya, namun tidak demikian. Karena bagaikan permata
sphatika Bhatara sadasiwatattwa, tidak dapat dikotori, hanya saja cetananya
yang terlekati oleh mala, dihiasi dan diselimuti oleh mayatattwa. Akhirnya
cetana itu menjadi tidak aktif, tidak lagi sarwajna, tidak lagi
sarwakaryakarta. Pada akhirnya benar-benar cetana itu kesadarannya amat kecil.
Maka ia disebut Atmikatattwa, Sang Hyang Atmawisesa, Bhatara Dharma yang
memenuhi alam semesta. Ialah jiwanya alam semesta, jiwa semua makhluk.
Demikianlah persamaanya sebagai matahari. Satu ia aktif dalam dirinya sendiri,
namun cahayanya menyebar memenuhi arah semua tempat, memenuhi alam semesta yang
menyinari yang baik dan yang buruk, yang berbau busuk dan yang berbau harum.
Cahayanya itu yang menyinari baik dan buruk. Banyaklah kegiatan cahaya
matahari, terhadap yang baik dan terhadap yang buruk, terhadap rupa dan warna.
Demikianlah Sanghyang Aditya. Sanghyang Aditya mengasihi semuanya itu walaupun
ia berada dalam dirinya sendiri. Demikian juga Bhatara Dharma, walaupun ia ada
didalam niskala, yang berbadan turyapada. Hanya cetana Nyalah yang menyebar
memenuhi alam semesta. Berubah menjadi semakin besar, menjadi jiwa semua
makhluk. Maya itulah yang dipandang cetana yang memberi kesadaran.
BHATARA DHARMA
Mengembangkan Cetananya,
kemudian
Melahirkan Citta, Sattwam,
Raja dan Tamah
Inilah perihal
Bhatara Dharma yang mengembangkan cetananya. Bhatara Mahulun ingin melihat
benda yang nyata. Maka itulah diberikannya Sanghyang Atma, dipertemukannya
dengan Pradhanatattwa. Pradhanatattwa ialah anak Mayatattwa. Itulah sebabnya
sifat Pradhanatattwa lupa tak ingat apapun, bagi manusia dinamakan tidur.
Lupalah yang menjadi badan Pradhanatattwa. Badan Sanghyang Atma adalah ingat
selalu. Bertemunya ingat-lupa. Itulah yang disebut Pradhana-purusa. Ketika
bertemunya Pradhana dengan Purusa itulah melahirkan Citta dan Guna. Citta
adalah wujud kasarnya Purusa. Guna adalah hasil. Pradhanatattwa yang diberi
kesadaran oleh Purusa. Adapun Guna itu ada tiga jenisnya yang berbeda-beda
yaitu : Sattwa, Rajah, Tamah. Itulah yang disebut Triguna yang dipakai sebagai
guna ( kwalitas ) oleh Citta. Demikianlah citta Sattwa, citta Rajah, dan citta
Tamah.
Citta adalah
Cetana Sang Purusa yang dilekati dihiasi oleh Triguna. Kemudian namanya Citta.
Ingatlah hendaknya akan sifat-sifatnya. Bila Sattwa tenang bercahaya melekati
alam pikiran, ia akan menjadi orang yang bijaksana tahu akan apa yang disebut
patut dan yang disebut tidak patut, baik caranya bertingkah laku, meskipun ia
bertenaga, tiadalah ia kasar, tidak berkata asal berkata, bersikap hormat,
kelihatan lurus hati, ia menaruh kasih saying kepada orang yang menderita,
menghibur orang yang hina di hina orang bersedih hati, setia dan bhakti(
arumpating alanya? ), lembut kata-katanya, sungguh-sungguh ia menjalankan
ajaran sastra dan apa yang disebutkannya. Berusaha mengejar sifat yang baik,
pengetahuan kasamyagjnanan. Tiada mengenal lelah, tiada cepat sedih hanya
berhati girang kelihatannya. Apa saja gerak-geriknya menjadikan orang senang
memandangnya. Kata-katanya menjadikan senang yang mendengar. Luhur budinya
menyebabkan tenang dan gembiranya hati orang banyak. Tidak serakah dan
bersedianya mengalah ( manga kociwaha tan keponumahar sukambekning para ? ).
Tidak egois, tidak sesat olehnya bertingkah laku, tetapi girang senang dan
tenang ( bersih ) tak bernoda saja menjadi bathinnya, manis wajahnya. Itulah
hakekat Citta Sattwa, yang melekat pada Citta.
ASAL USUL DAN SIFAT-SIFAT
AHANGKARA
Yang melahirkan Dasa Indriya, Panca Tanmatra dan Panca Mahabhuta
Beginilah kejadiannya hendaknya diingat. Bhatara Mahulun
member kesadaran pada Sanghyang Atma. Sanghyang Atma member kesadaran pada
citta. Citta member kesadaran pada ahangkara. Itulah yang disusupi oleh kriya
sakti Bhatara yang memberi kekuatan. Itulah yang disebut hidupnya hidup. Kriya
sakti Bhatara pramana sebagai hidupnya ahangkara, sebagai hidupnya buddhi.
Itulah sebabnya pramana nama lain ahangkara. Sebab mengaku menentukan yang ada
maupun yang tidak ada, melaksanakan perbuatan baik dan perbuatan buruk. Dan
juga guna (kualitas) ahangkara adalah mengaku segala miliknya. Katanya:
“Milikku, nafasku, ucapanku, pikiranku, badanku”. Demikianlah kata si ahangkara.
Ahangkara dengan buddhi, itulah pramana wisesa namanya. Apa yang menyebabkan
ahangkara dan buddhi itu disebut wisesa? Sebab tetap diam tidak bergerak-gerak.
Hanya kesadarannya sedikit, remang-remang, kesadarannya akan baik dan buruk.
Demikian juga buddhi, hanya dijadikan tempat untuk menerima adanya ahangkara,
ada tiga jenisnya yaitu: si waikrta, si taijasa, si bhutadi. Demikian jenis
ahangkara itu.
Ahangkara si waikrta adalah buddhi
sattwa.
Ahangkara si taijasa
adalah buddhi rajah.
Ahangkara si bhutadi adalah
buddhi tamah.
Marilah ceriterakan fungsinya masing-masing Ahangkara si
waikrta ialah menyebabkan adanya manah dan 10 indriya, yaitu: caksu (mata),
srota (telinga), ghrana (hidung), jihwa (lidah), twak (kulit), demikianlah yang
disebut pancendriya. Wak (mulut), pani (tangan), pada (kaki), upastha (kelamin
laki), payu (pelesan), demikianlah yang disebut pancakarmendriya. Kumpulan
pancakarmendriya dengan pancendriya disebut Dasendriya. Namanya yang kesebelas
ialah manah. Demikianlah fungsi ahangkara si waikrta
.
PENGERTIAN SAPTA LOKA,
SAPTA PATALA
Perbedaan peranannya dengan Wiswa, serta pengertian Sattwam, Rajah
dan Tamah
Demikianlah keadaan pancamahabhuta itu, yang bercampur
dengan guna, dijadikan andabhuwana oleh bhatara yaitu: saptaloka, bertempat di
puncak yang tertinggi. Kemudian saptapatala bertempat di bawah, bhuwana, sarira
namanya. Satyaloka bertempat paling di atas, kemudian berturut-turut di
bawahnya ialah: mahaloka, janaloka, tapaloka, swarloka, bhuwarloka, bhurloka.
Adapun bhurloka itu adalah tempat berkumpulnya semua tattwa. Pada bhurloka
terdapat: saptaparwata, saptarnawa, saptadwipa, dasabayu, dasendriya. Semuanya
itu berada di bhurloka. Saptaparwata itu menyatu dengan prthiwi di sini di
dunia. Saptadwipa, menyatu dengan cahaya di dunia ini. Dasawayu, menyatu dengan
wayu di dunia ini. Dasendriya, menyatu dengan akasa di dunia ini pula.
Demikianlah sifat-sifat segala tattwa pada bhurloka. Inilah yang disebut
saptapatala: patala, witala, nitala, mahatala, sutala, tala-tala, rasatala.
Dibawah saptapatala adalah balagadarba yaitu mahaneraka. Di bawah mahaneraka,
di sanalah tempat Sang Kalagnirudra, yaitu api yang senatiasa menyala, 100.000
yojana, jauh nyalanya berkobar-kobar. Sanghyang kalagnirudra, adalah api yang
menjadi dasar saptapatala. Demikianlah keadaan andabhuwana, bertingkat-tingkat
sebagai rumah lebah. Demikian banyaknya tattwa (elemen) kasar ahangkara si
bhutadi pada mulanya.
Adapun sifat ahangkara si taijasa, yaitu sifatnya
beristri dua orang yaitu membantu si waikrta dan si bhutadi. Ikut membuat
sebelas indriya (ekadasendriya) dan pancatanmatra. Ahangkara itu ada tiga
sifatnya lahir dari buddhi menserasikan sattwa, rajah dan tamah. Siapakah yang
menyerasikan? Itulah Sanghyang Pramana, yaitu wujud kasar Sanghyang Atma, yang
ada di turyapada. Ialah yang disebut Sanghyang Pramana, yang mengaku dan
menentukan, merencanakan perbuatan baik atau buruk. Buddhi, manah dan ahangkara
sebagai sarana adanya. Buddhi dan manah merupakan sarana Sanghyang Pramana
menjadi bingung. Ahangkara merupakan sarana bagi Sanghyang Pramana untuk
mengaku, merencanakan perbuatan baik dan buruk. Demikianlah sifat-sifat
Sanghyang Pramana, dengan sarana buddhi, manah dan ahangkara
.
PUNARBHAWANYA SANG HYANG
ATMA
Ah, sengsara benar sanghyang atma, terus tenggelam hilang tak dapat
kembali ke jati dirinya. Bagaikan tanpa pikiran Sanghyang Atma. Sama seperti
halnya biji jawawut satu butir, yang dipotong-potong menjadi beribu-ribu
ditenggelamkan disamudra. Amatlah sulitnya akan menemukan hakekat juwawut itu.
Demikian pula Sanghyang Atma, apabila telah menjadi binatang liar. Masih lebih
baik menjadi binatang ternak, sabab itu bisa sebagai sarana untuk membuat baik.
Ada yang menjadi semut, tetek, lintah, wedit, warayang, hiris poh, segala
mahluk yang dibenci oleh manusia, lebih-lebih bila ia hendak bergerak dan pula
binatang itu ada yang ditakuti, ada yang dibenci. Apa yang menyebabkan
demikian? Perbuatan yang tidak baik, kanistha madhyama uttama yang berlalu itu
dalam berbuat. Manakah perbuatan jelek yang paling kecil? Orang yang terhindar
dari kemarahan, namun keras, lancing. Demikianlah orang lalu menikmati
perbuatannya yang buruk lalu jatuh keneraka. Setelah lepas dari sana, ia itu
baru diberi menjelma menjadi manusia oleh Yamabala. Tidak sama rupanya dengan
orang sadhu. Ia itulah manusia cacat namanya. Ia memiliki cacat, segala macam
cacat, sebagai hasil perbuatan buruknya yang paling kecil.
Inilah orang yang perbuatan buruknya sedang lantaran
keadaannya menyedihkan, tidak ada yang dimakannya dan yang dipakainya. Hal
itulah yang menyebabkan ia berbuat jahat, menjadi maling, berbuat curang pada
milik orang sadhu yang menyebabkan bisa makan. Matilah ia itu, perbuatannya
yang demikian itu, mendorongnya untuk menuju neraka. Setelah lepas dari neraka,
diberinyalah ia menjelma menjadi binatang liar oleh Sang Yamabala.Adapun
binatang itu isa dimakan, bisa dimakan
sebagai sarana meaksanakan yajna tawur. Diberi pahala demikian pada akhirnya.
Demikian pahala perbuatan buruk yang sedang. Inilah perbuatan buruk yang
terbesar, yang disebabkan oleh keakuannya oleh lobanya, oleh kebingungannya,
oleh ketamakannya, maupun oleh iri hatinya. Tak tersucikan, betul-betul kotor
penjelmaannya, porapuri olehnya berbuat jahat. Menyerang orang tidak berdosa,
merampas dagangan orang yang tidak berdosa, membuat pikiran orang susah, makan
makanan teman. Orang yang demikian itu sifatnya, tentu dibenci, ditakuti oleh
sesama manusia. Setiap yang didatanginya dimanapun ia berada akan
dikesampingkan orang, dan orang merasa terganggu. Ketika mati orang yang
demikian itu perbuatannya tak jauh akan menuju neraka. Setela terlapas dari
sana lalu diberinya ia menjelma menjadi binatang liar oleh Sang Yamabala. Nah
demikianlah jadinya segala jenis binatang yang dibenci, didengki, ditakuti oleh
manusia. Itulah merupakan penjelmaannya. Demikian pahala perbuatan buruk yang
besar. Sangat besar kesalahannya tanpa bentuk yang benar kelahirannya Sanghyang
Atma. Apalagi akan mengetahui asal-usul penjelmaannya. Jika seandainya ada
tindakan yang akan dilakukannya bisa akan menanyakannya tentang keterangan
kebodohannya pada sang pandita. Apakah yang menyebabkan adanya panca triyak
itu? Segala prilaku manusia yang berbuat buruk padanya. Itulah sebabnya
perbuatannya berlawanan dengan manusia, perbuatan binatang itu.
SANG HYANG ATMA
Perwujudan dalam badan manusia, mendapat
pengaruh dari panca mahabhuta, hubungannya dengan
sad rasa, panca Tanmatra, Sapta bhuana, sapta parwata,
Sapta Arnawa, Sapta Dwipa dan sepuluh Nadi
Dilhirkanlah ia dalam wujud sebagai
manusia seperti ini, yaitu sanghyang atma lahir di bumi, tinggal dalam badan
jasmani, menyusup dalam sad rasa (enam rasa) yang merupakan sari-sari
pancamahabtha yaitu, tanah,air, cahaya, angin dan udara. Semua inilah yang
melahirkan sadrasa yaitu amla, kasaya, tikta,kartuka, lawana dan madhura. Amla
artinya asam, kasaya artinya sepet, tikta artinya pahit, katuka artinya pedas,
lawana artinya asin dan madhura artinya manis itulah yang disebut sadrasa,
itulah disebut mula asal yang membangun badan jasmani. Yang kedua yang
membangun badan jasmni ialah sadrasa itu dimakan dan diminum oleh orang laki
dan perempuan. Sari-sari apa yang dimakan dan diminum itu menjadi darah,
daging, lemak yang ketiga yang membangun badan jasmani itu ialah sari-sarinya
darah, daging, lemak menjadi kama dan ratih. Itulah dihidupin oleh nafsu
asmara, itulah yang mengembang lagi. Bila unsur laki lebih banyk dari unsur
wanita maka akan lahir menjadi laki-laki. Bila unsur perempuan lebih dari unsur
laki maka akan lahir menjadi perempua. Bila unsur laki dan perempuan sama akan
lahir menjadi banci (tidak
mempunyai asmara) adapun unsur laki menjadi tulang, otot, bulu badan. Unsur
perempuan menjadi darah, daging, lemak. Demikianlah sebenarnya panca mahabtha
itu. Asal badan jasmani itu
sebenarnya adalah sebagai berikut: tanah dijadikan kulit, airdijadikan
darah,teja dijadikan daging, anggin dijadikan tulang, udara dijadikan sum-sum.
Panca
tanmantra jadinya: sabda tan manta menjadi telinga, sparsa tanmanta menjadi
kulit, rupa tanmatra menjadi mata, rasa tanmtra menjadi lidah,
gadhatanmtra menjadi hidung. Itulah yang dinamakan pancagolaka, ditambah
andabhuwana, saptapatala, dan saptabhuwana
Saptabhuwan ialah: bhur loka adalah
perut, bhuwarloka adalah ati, swarloka adalah dada, tapaloka adalah kepala,
janarloka adalah lidah, maharloka adalah hidung, dan stya loka adalah mata. Itulah yang disebut sapta bhuwana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar