ACARA AGAMA
HINDU III
JENIS
TANAMAN UPAKARA
Oleh
Kelompok II
1. Ni Luh Devy Ratna Sari (10.1.1.1.1.3825)
2. Komang Sudiasa (10.1.1.1.1.3833)
3. Ni Luh Nopiani (10.1.1.1.1.3836)
4. Desak Putri Maya Kartika Sari (10.1.1.1.1.3847)
5. I Gede Surya Adnyana (10.1.1.1.1.3856)
6. Putu Yuli Supriandana (10.1.1.1.1.3852)
7. Ni Putu Wahyu Putri Pratami (10.1.1.1.1.3863)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA
ACARYA
INSTITUT HINDU
DHARMA NEGERI DENPASAR
2013
JENIS TANAMAN UPAKARA
(Oleh Kelompok : II)
I.
Pendahuluan
Berbhakti
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah salah satu bentuk pengamlaan beragaa
Hindu. Di samping itu pelaksanaan agama, juga dilaksanakan dengan karma dan
jnyana. Bhakti, karma dan jnyana marga dapat dibedakan dalam pengertian sjaa.
Namun dalam pengamalannya ketiga hal itu luluh enjadi satu. Bhakti kepada Tuhan
tidak mungkin dapat dilakukan dengan tanpa kerja yang benar adalah kerja kerja
yang didasarkan pada pengetahuan atau jnyana. Ketiga hal tersebut merupakan hal
yang yang tidak terpisahkan. Masing-masing hanya dapat lebih ditonjolkan sesuai
dengan kemampuan umat masing-masing. Ada yang lebih menekankan pada bhaktinya,
ada pada karmanya dan ada pula yang menekankan pada janyananya.
Pelaksanaan
agama yang lebih menekankan pada jnyanya, kalau sampai mencapai puncak yang
tertinggi menjadi “raja marga”. Jadi raja marga adalah puncaknya dari jnyanya
marga. Dalam kegiatan upacara kegamaan hindu ketiga jalan tersebut di atas
benar-benar luluh menjadi satu. Upacara dilansgungkan dengan rasa penuh bhakti,
tulus dan iklas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktudan
itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan. Untuk melakukan upacara dalam kitab
suci sudah ada sastra-sastranya yang dalam kitab suci agama disebut yadnya
widhi artinya peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari karma dan jnana adalah
bhakti atau penyerahan diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya kita
persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. segala pengetahuan yang kita
miliki, pada akhirnya juga kita harus persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. dengan cara seperti itulah karma dan jnana marga akan mempunyai nilai
yang tinggi. Kegiatan upacara itu banyak enggunakan simbul-simbul atau sarana.
Simbul-simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Berbhakti
pada Tuhan dalam ajaran agama hindu ada dua tahapan. Tahapan pertama yaitu
pemahaman agama dan pertumbuhan rohaninya belum begitu maju dapat menggunakan
cara berbhakti yang disebut “apara bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah
maju dapat menempuh cara bhakti yang lbih tinggi yang disebut “para bhakti”.
Apara
bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul dari benda-benda
tertentu. Sarana-sarana tersebutmerupakan visualisasi dari ajaran-ajaranagama
yang tercantum dala kitab suci. Menurut bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan
bahwa sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan. Sarana
tersebut adalah pattram (daun-daunan),
puspam (bunga), phalam (buah-buahan), dan Toyam
(air suci atau tirtha).
Dala
kitab lainnya disebutkan pula api yang berwujud “dipa” dan dhupa” merupakan
sarana pokok yang juga setiap upacara agama hindu. Dari unsur-unsur tersebut
dibentuklah upakara-upkara atau sarana upakara yang telah berwujud tertentu
dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam
embuat upakara adalah sama. Namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbeda-beda
dalam fungsi yang berbeda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk
memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam tulisan ini kami akan batasi hanya
membahas tentang Tanaman Upakara seperti daun-daunan, buah-buahan, dan bunga.
II.
Pembahasan
2.1
Arti
dan Fungsi Tanaman Upakara
2.2.1 Bunga
Arti
bunga dalam lontar yadnya prakerti disebutkan : “sekare pinako katulu san suci”artinya bunga itu sebagi lambang
ketulus iklasan pikiran yang suci. Bunga bagai unsur salah satu persembahyangan
yang digunakan oleh umat hindu bukan dilakukan tanpa dasar kitab sucui. Dalam
bhagavadgita bab IX 26 menyebutkan unsur-unsur pokok persembahyangan yang
ditujukan kepada ida sang hyang widhi wasa di samping daun, buah-buahan, dan
air. Adapun bunyi sloka tersebut adalah
Pattram
puspam phala toyam
Yo
me bhaktya prayacchati
Tad
aham bhaktyupahrtam
Asnami
prayatatmanah
Artinya.
Siapapun
yang dengan kesujudan mempersembahkan padaku daun, bunga, buah-buahan atau air,
persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci aku
terima.
Bunga merupakan sarana
pokok dan sangat banyak digunakan dalam membuat yajna. sarana berupa bunga memiliki
peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu
persembahan atau yajna, baik yang digunakan untuk pelaksanaan yajna setiap hari
atau nitya karma, maupun untuk keperluan yajna dalam waktu-waktu tertentu atau naitmitika
karma. Kalau kita perhatikan kaitannya dengan pelaksanannya panca yajna, bunga
banyak digunakan untuk membuat banten atau sesajen atau upakara yajna.
Bungaa
adalah lambang dari kesucian hati dan jiwa sang muspa. Buknkah bunga itu suci,
indah dan harum? Untuk muspa, gunakanlah bunga yang segar! Jangan yang telah
layu! Lebih-lebih jangan yang telah kerig, terutama bukan sisa sesuatu!demikian
pula kwangen. Dapat dijelaskan bahwa bunga dan kwangen tidak memiliki perbedaa
pokok. Kwangen pun adalah simbul dari
kesucian hati pula. Bila kwangen tidak ada, maka dapat diganti dengan bunga
saja. Adapun sesari dalam kwangen adalah
perwujudan dari kemantapan hasrat hati kita, bahwa muspa itu kita lakukan
dengan hati yang yang mantap, dengan sepenuh hati. Kwangen adalah lambang intensitas
bobot hati yang tinggi (Kaler:11:1983).
Kemudian dalam
kepentingan yang lainnya, bunga juga dipakai sebagai suatu hiasan untuk
menumbuhkan suasana keindahan dan menciptakan suasana kenyamanan dala suatu
kegiatan tertentu, baik dalam lingkungan keluarga, aktivitas kemasyarakatan,
kegiatan hiburan, kegiatan hari raya nasional, kegiatan pesta perkawinan,
kunjungan pada tempat-tempat tertentu dan sebagainya. Sungguh banyak manffat
dan kegunaan bunga dalam kehidupan bagi manusia. Demikian juga juga halnya
dalam kaitannya dengan kehidupan bago umat hindu, bunga memiliki nilai
religius, nilai spiritual, dan nilai kesucian yang sangat tinggi. Bunga yang
digunakan untuk keperluan yajna atau persembahan, bukanya bunga yang sembarangan
atau bunga yang diperoleh asal ada dan dapat, tetapi bunga yang dipilih khusus
sesuai dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran agama hindu.
Puspa atau kembang
merupakan wujud benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang
dapat memberikan kepuasan. Puspa atau kembang merupakan sarana untk
menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
mempersebahkan yajna sebagai wujud upakaranya.
Sebagai landasan utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan
atau kesucian hati yang disertai dengan cinta kasih. Walaupun persembahannya
sederhana yaitu dengan sekutnum bunga, apabila landasan kesucian dan cinta
kasih yang menyertainya, maka persembahan yang demikianlah yang diterima oleh
Hyang Widhi.
Kemudian sebaliknya,
apabila memliki kemampuan untuk mempersebahkan yang serba banyak, serba mewah,
meriah, semarak juga tidak ada salahnya, sepanjang semua persembahan tersbeut
merupakan persembahan yang terhormat, persembahan yang dilandasi oleh rasa
iklas dan suci, tentulah baik phalanya, karena hyang widhi dapat enerima
persembahan tersebut yang disertai dengan kesadaran yang tinggi, bukan sifatnya
pamrih yang semata-mata untuk menerima balasannya. Juga bukan merupakan
suatupersembahan yang sifatnya paksaan. Suatu persembahan akan dapat diterima
dan berphala dengan terpuji, bilamana kesederhanaan serta kesemarakan disertai
oleh pendalaman maknanya dan berlandaskan pada konsep kebenaran atau dharma.
Berdasarkan
sumber-sumber sastra agama hindu ada menegaskan perlunya melakukan persembahan
dengan sarana yang dibenarkan oleh ajaran agama hindu serta yang memilki nilai
kesucian. Dengan demikian perlu dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai
persembahan atau sarana peujaan maupun dipakai sebagai saran upcara yajna secara
umum, antara lain bunga yang mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah
warnanya, bunga yang tidak mudah layu, bunga yang dalam keadaan segar atau
bunga yang baru dipetik, atau bunga yang tidak tua atau kering, serta bunga
yang lainnya yang memenuhi syarat-syarat kesuciaan. Perlu diingat, bunga
sebagai sarana dalam upcara yajnya sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu
diperciki teirtha penglukatan agar terbebas dari segala kektoran dan
malapetaka. Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan
adalah jenis bunga yang dapat menghindarai umatnya dari perbuatan-perbuatan
dosa atau mala petaka.
Dalam nasakah siwagama
dan menegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana
upacara yajna, terutama untuk mebuat puspalingga serangkaian upacara pitra
yajna yakni untuk memuja upacara pitara
dan roh suci leluhur, terutaama dalam upacara atma wedana (memukur atau nyekah)
antara lain bunga medori putih dan bambu buluh.
Dalam naskah agastya
parwa, menegaskan, inilah bunga yang tidak dapat untuk dipersembahkan kepada
bhatara, buga yang berulat, bunga yang jujur tanpa dguncang, bunga yang berisi
semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh
dikuburan, adalah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan agar supaya
wajahnya sesuai dengan yang diharapkan, sebab orang yang selalu memuja tersebut
akan membentuk kelahiran dan wajahnya.
Jenis-jenis
bunga mencari jenis bunga yang dipergunakan dalam kwangen adalah yang segar dan
harum serta berasal dari bunga yang hidup, sepertti jenis bunga cempaka,
kamboja, sandat dll. Adapun beberapa jenis bunga berdasarkan pustaka suci
antara lain yang dipergunakan untuk sarana upakara :
a. Bunga
jempiring alit (tulud nyuh) dan bunga sarikonta. Kedua jenis bunga tersebut
menurut pustaka suci rontal”aji janantaka” dinyatakan tidak mendapatkan “penglukatan atau
pembersihan dari dewa siwa.
b. Bunga
yang digigit belalang (ulat) yang sering disebut bunga uledan, bunga semutan,
sehingga kesuciannya tercemar dan kesegarannya ternoda. Mengenai bunga yang ini
petunjukknya termuat dalam pustaka suci rontal “yama purwana tattwa.
c. Bunga
turung umung atau keduduk petunjukknya termuat dalam pustaka rontal siwagama.
d. Bunga
yang jatuh sendiri dari pohonnya atau telah mati. Hal ini sesuai dengan
petunjuk pendeta bali.
e. Bunga
mitir menurut petunujuk rontal kunti yadnya, dinyatakan berasal dari darahnya
bhatari durgha (sakti dewa siwa). Dinyatakan tidak patut dipakai sarana upacara
dewa yadnya, tetapi kemudian setelah mendapatkan penyupatan oleh dewa siwa,
seperti yang dinaytakan dalam pustaka
rontal “aji janantaka” boleh dipakai, tetapi yang kembangnya bagus dan berwarna
kekuningan. Selain itu bunga gemitir juga bunga mitir tidak baik dipakai sarana
untuk memercikkan tirtha, karena cepat busuk dan mengundang bibit penyakit
(Arwati:1992:11-12).
Menyimak makna sloka
diatas, maka dapat ditegaskan walaupun
sungguh besar rasa bhakti ke hadapan Hyang Widhi dan kepada sesam ciptaan-Nya,
tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai dengan wujud persembahan berupa
yajna, maka kuranglah bermakna cetusan rasabhakti itu. Deikian pula selanjutnya
walaupun sudah mewujudkan rasa bhakti itu kepada Hyang Widhi dengan persembahan
upakara yajna, tetapi persembahan yang kita haturkan ke hadapannya tidak pada
tempatny, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut dipersembahkan,
mempersembahkan sarana yajna dari hasil jarahan, termasuk juga disini
mempersembahkn bung/kembang/puspa/sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan
dharma. Maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu diingat bahwa rasa
bhakti ke hadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara yajnya yang memiliki
nilai kesucian sesuai jenis dan makna dari yajna itu sendiri.
Dalam lontar wariga
cemet, ada juga menjelaskan tentang bunga yang dibolehkan sebagai sarana
upacara agama (upacara penebusan atma) serangakain dengan upaccara pitra yajna,
antara lain, bunga jepun, sari, sincer, pucuk pasat, tulud hyuh, kwanta, soka
keling, kenyiri putih, gambir lima, kabari walanda syulan, tiga kancu, sedap
malam, anggrek wulan, kamrakan, gunggung cina, mawar, pucuk dadu, tunjung bang,
jepun sudamal, seruni putih, anggrek adu, sarikonta, temen, sempol, pucuk
susun, soka natar, kuranta, kembang kuning, cepaka keling, bunga gambir,
tunjung, lungsur, panca galuh, grayas, sandat, sokasti, cempaka kuning, cempaka
putih, katrangan, bunga parijata, pucuk bang lamba, teleng biru, menuh susun, angsana
wungu, teleng putih, dause gde medori putih, sulasih harum, tunjung tutuer,
sudhamala, tunjung nilawati, grana petak, gadung dan bunga monasuli ergilo.
Demikian beberapa
sumber yang menyebutkan jenis-jenis bunga yang diusahakan atau dilarang untuk tidak
digunakan sebagai sarana upacara yajna, karena alasan tidak memiliki kesucian,
tidak segar, layu, dan bekas dimakan ulat, serta alsaan lainnya. Bunga dalam
fungsinya sebagai sarana upacara yajna, maka bunga untuk sarana persembahan,
sarana untuk memuja Hyang Widhi, sarana menumbuhkan suasana kesucian, sarana
untuk dapat mengkonsentrasi diri, dan sebagai kelengkapan membuat bebanten atau
upakara. Perlu diingat bahwa bunga mempunyai dua fungsi yaitu :
a. Sebagai
wujud atau simbol siwa atau Hyang Widhi (Sang Hyang Puspadanta) seperti
tercermin dalam mantra berikut ini : Om Puspa dantya namah (wedaparikrama).
Dalam sembahynag bunga diletakkan pada ujung kedua jari paling atas (puncak)
dan cakupan tangan berada diatas ubun-ubun. Setelah usai enyembah bunga diaturh
diatas ubun-ubun atau juga bisa disumpangkan di telinga yang bermakna sebagai
simbol siwa atau Hyang Widhi.
b. Sebagai
sarana persebahan atau pemujaan, arena bunga dipakai bebanten atau sarana
upakara yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi beserta manihestasinya dan roh
suci leluhur (bhagavadgita IX-26).
Memperhatikan tentang
arti dan fungsi bunga dalam upacara yajna, maka sesungguhnya makna dari upakara
yajna atau bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan antara lain,
merupakan cetusan hati manusia (umat hindu) untuk menyatakan terima kasihnya
kepada Hyang Widhi, dimana perasannya itu diwujudkan dengan isi dunia, berupa
bunga, buah-buahan, daun, air dan sebagainya.
2.2.2
Daun
Menyimak makna sebuah sloka dalam kitab
suci bhagavadgita yang berbunyi `patram
puspam phalam toyam
Yo
me bhaktya prayacchtai
Tad
aham bhaktya-upahrtam
Asnami
prayatatmanah
Bhagavadgita
IX-26
Atinya.
Siapapun
yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum
bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan
dari orang yang berhati suci.
Mencermati sloka yang
telah diuraikan, maka daun juga merupakan salah satu sarana dalam upacara
yajna. penggunaan daun sebagai sarana upacara yajna atau sarana pemujaan sesuai
dengan slokanya disebut dengan patram yaitu
wujud persembahan berupa daun yang memiliki nilai kecuian, yang dipersembahkan
kehadapan Hyang Widhi. Sarana berupa daun juga dikenal dengan sebutan plawa yaitu jenis daun-daunan dari suatu
tumbuhan tertentu yang digunakan sebagai sarana yajna bukannya diperoleh secara
sembarangan, tetapi diperoleh secraa khusus yang telah ditanam pada suatu
tempat yang suci pula, seperti tanaman bunga yang ada di halaman satu pura.
Halaman pemerajan, serta sekitar tempat-tempat tertentu yang dipandang suci
atau yang tidak mencermarkan jeni tumbuhan yang nantinya digunakan sebagai
sarana upacara yajnya.
Persembahan berupa daun
atau plawa yang diutamakan adalah
nilai kesuciannya atau ketulusiklasan dalam mempersembahannya. Atau dengan kata
lain kecil dalampersembahan namun besar dalam makna. Persembhan yang demikian
disebut dengan “nistaning uttama atau
siddhaning don”.
Persembahan yang kecil
dan sederhana belum tentu bernilai atau tidak berpahala, begitu pula sebaliknya
persembahan yang serba banyak atau mewah akan bernilai mulia atau berphala
utama, yang jelas tridak demikian. Persembahan yang banyak dan mewahh yang
tidak dilandasi dengan ketulusan dan kesucian, maka tidak bermutulah
persembahan tersebut. Apalagi yang beryajnya itu suasannya ricuh, kelut, resah,
sedih, selalu bentrok, dalam hatinya
duka, maka sia-sia lah persembahan itu.
Jika mampu
mempersembahkannya hanya dengan seteguk, sebiji, sekuntum, termasuk juga hanya
dengan sehelai daun, yang diiringi rasa bhakti, rasa iklas, hati yang suci,
rasa cinta kasih yang mendalam, suasana yang tenang dan tentram, maka
persembahan yang demikian itulah diterima Hyang Widhi (Bhagavadgita IX-26).
Dalam
praktek yang dilakukan oleh umat hindu baik yang nitya karma mauoun yang
bersifat naitmitika karma, maka dalam mewujudkan dan kesempurnaan yajna, daun
sering digunakan dan bahkan bukan hyany satu jenis daun, tetapi beragam menurut
kebutuhan yajna itu. Adapaun jenis-jenis daun yang diperlukan sebagai saran
upacara yajna, antara lain :
a. Daun
beringin, b. Daun bilwa, c. Daun perancak, d. Daun dadap, e. Daun rumput, f.
Daun pandan arum, g. Daun pudak, h. Daun pohon puring, i. Daun enau, j. Daun
kelapa muda atau janur, k.daun nenas, l. Daun andong, m. Daun kayu tulak, n.
Daun kayu sisih, o. Daun kayu sari, p. Daun pisang, q. Daun tingkih, r. Daun
salak, s. Daun temen, t. Daun sudamala, dll.
Jenis-jenis daun di
atas, ada yang sering penggunaannya dan ada juga yang jarang dipakai dan
semata-mata bukannya kurang antara daun yang satu dengan jenis dau yang lainnya
kurang berguna. Tetapi dilandasi atas kebutuhan dan jenis yajnya yang
dipersembahkan. Secara umum jenis-jenisdaun yang digunakan sebagai sarana
upacara yajnya merupakan simbol kesucian serta ketulusan dalam beryajna.
Kemudian kalau
diperhatikan penggunaan daun beringin merupakan daun yang paling umum digunakan
sebagia lambang kesucian, lambang agni, dan sebagai alas untuk kesucian untuk
kesucian, baik dalam upacara dewa yajna, pitra yajna, maupun pelaksanaan yajnya
yang lainnya. Juga daun bilwa juga digunakan sebagai sarana yajnya yang utama
dalam memuja hyang siwa. Selanjutnya kalau kita perhatikan sebuah canang yaitu
genten, maka pada canang tersebut terdapat sarana berupa pelawa, sirih, daun
pandan, bunga dan sebagainya. Masing-masing sraana tersebut bermkana yang
sangat utama, pelawa sebagai simbol atau melambangkan Hyang Wisnu, sedangkan
kapur melambangkan dari Hyang Siwa dan Sirih melambangkan Hyang Brahma, daun
pandan arum melambangkan simbol daya tarik atau rangsangan untuk memusatkan pikira
ke arah kesucian, serta bunga menggambarkan hati yang tulus iklas dan suci.
Dalam upakara yajnya
ada dikenal dengan porosan silih asih.
Dalam porosan silih asih ini terdapat sarana daun yang bermakna penghormatan
kepada Hyang Widhi Wasa. mengingat unsu-unsur yang ada dalam porosan silih asih
itu seperti : pinang, daun sirih, dan kapur, semua itu mengandung makna sebagai
lambang pemujaan terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang
Hyang Tri Murti.
Pada kwangen yang
terdiri dari kojong yang terbuat dari daun pisang, porosan silih asih, bunga
pelawa, cili (jejahitan dari daunn kelapa muda berbentuk muka manusia), serta
uang kepeng bolong( yang berasal dari unsur-unsur panca datu : emas, perak,
tembaga, timah, besi). Deawsa ini penggunaan uang kepeng bolong (pis bolong)
dapat diganti dengan uang logam sebagai alat tukar yang sah dapat dibaca
Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama hindu.
Wujud kwangen sebagai simbol Ongkara atau aksara suci Hyang Widhi. Masing-masing
unsurnya memiliki simbol tertentu.
Dalam membuat daksina
kita jumppai penggunaan pelawa pesesan yaitu
campuran dari kelima jenis daun buah-buhan yang juga disebut daun pancapala, seperti daun durian simbol warna putih,
daun manggis simbol warna merah, daun
ceroring/duku simbol warna kuning, daun mangga simbol campuran warna-warna.
Kelima daun tersebut 9pelawa peselan atau daun pana-pala) kalau kita perhatikan
dari segi warnanya dapat bermakna pemujaan terhadap Panca Dewata yaitu dewa
Iswara arah timur, dewa Brahma arah selatan, Dewa Mahadewa arah barat, Dewa
Wisnu arah Utara, dan dewa siwa pada
posisi tengah (madya). Pada daksina ada penggunaan daun sirih yang disebut Base
Tampel atau sirih, bentuknya menggambarkan orang-orang sedang bersembahyang.
Dalam upacara pawiwahan
(manusia yadnya), ada digunakan daun dadap beserta batangnya yang terdiri dari
dua cabang dan masing-masing cabang diikat dengan benang, diisi dengana uang
kepeng berjumlah sebelas, diisi dengan kwangen, kemudian ditancapkan agak
berjauhan, lalu kedua mempelai melangkahi dan diinjak hingga benang putihnya,
ini disebut dengan “pepegatan”.
Pada banten penyeneng
kita jumpai penggunaan daun dadap yang disebut “tepung tawar”. Sarana ini
terbuat dari daun dapdap kunir dan berasan yang telah ditumbuk (tidak terlalu
halus) dan ditaruh pada sebuah kojong yang merupakan sarana kelengkapan banten
penyeneng. Tepung tawar adalah untuk pensucian diri dan terbebas dari kekotoran.
Dalam banten mabyakala
atau mabyakaon dijumpai adanya penggunaan Lis serangkaian dengan upacara dalam
panca yajna. lis ini terbuat daru daun janu, daun andong merah, daun kayu
tulak, daun kayu sirih, daun dadap, serta perlengkapan yang lainnya sesuai
dengan desa kala patra. Lis digunakan untuk mencipratkan atau memercikkan
tirtha atau air suci. Lis memiliki makna untuk sarana penyucian diri guna
menjauhkan kekuatan negatif yang mengganggu manusia dan tentunya kekuatan dan
kesucian lahir bathin. Dalam tingkatan upacara yang lebihbesar bisasnya
digunakan lis ageng/lis gede. Sedangkan dalam upacara biasa/kecil digunakan lis
alit atau lis padma.
Demikian secara
sederhana diuraikan beberapa jenis daun yang digunakan sebagai sarana upacara
yajna, yang memiliki arti/makna/simbol tertentu sesuai dengan jenis upakara
yajna yang dipersembahkan serta disesuaikan pula dengan desa kala patra atau
situasi setempat dengan mengikuti keluwesan dan kesucian dari pada yajan yang
di haturkan kehadapan Hyang Widhi Wasa oleh umat hindu dimanapun berada. Perlu
diingat bhawaa sarana persembahan berupa daun, bilamana tidak akan mengurangi
makna yajna itu, dengan pertimbangan bahwa kesucian dan ketulusanlah yang
menjadi dasar utama dari persembahan itu.
2.2.3
Buah-buahan atau biji-bijian
Buah-buahan dan
biji-bijian juga merupakan sebagai sarana dalam upacara yajna. jenis
buah-buahan dan biji-bijian banyak digunakan oleh umat hindu sebagai
persembahan dan sebagai wujud rasa terima kasih kehadapan Hyang Widhi yang Maha
Esa pengasih dan dan maha pemberi. Apa yang kita miliki itulah yang
dipersembahkan. Hasil karya berupa buah dan biji-bijian sebenarnya merupakan
anugerah Tuhan, dan perlu disadari bahwa segala yang ada merupakan ciptaan-Nya.
Sarana persembahan berupa buah-buahan dan biji-bijian hendaknya dipersembahkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan selalu dalam keadaan suci atau sukla.
Diushakan agar tidak mempersembahkan suatu sarana yajna yang bukan milik
sendiri, apalagi memperoleh sarana persembahan dengan jalan kekerasan atau
hasil curian, sudah tentu hal seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran
agama Hindu.
Sesuai dengan bunyi
sloka bhagavadgita IX 26, ada penegasan mengenai sarana persembahan berupa
buah-biahan atau biji-bijian yang tersirat dalam kata “phalam”. Kata phalam berasala
dari bahasa sansekerta, yang artinya sebiji buah-buahan. Dari kata phala ini,
maka ada jenis buah-buahan, antara lain, phala gantung, phala bungkah dan phala
wija.
Yang dimaksud dengan
phala gantung adalah jenis buah-buahan dari suatu pohon tertentu seperti, buah
kelapa, buah pisang, buah mangga, buah rambutan, buah durian, buah apel, buah
manggis, buah pinang, buah wani, buah salak, dan jenis buah-buahan yang
lainnya. Kalau phala bungkah adalah
suatu hasil yang diperoleh dari suatu tanaman tertentu. Jenis phala bungkah ini
berupa umbi-umbian, umbi kunyit, umbi jahe, umbi kencur, umbi lengkuas,, maupun
jenis umbi yang lainnya. Sedangkan phalawija adalah suatu hasil yang berupa
biji-bijian seperti jagung, padi, kacang-kacangan, dan sebagainya.
Diantara jenis
buah-buahan yang paling sering digunakan sebagai sarana upacara yajna seperti
buah kelapa, buah pisang dan buah pinang. Jenis buah kelapa merupakan jenis
buah yang serba guna, oleh karena daunnya berguna untuk yajna, buahnya yang
muda (kelungah) berguna sebagai tirtha, batangnya dan yang lainnya berguna bagi
kehidupan manusia. Apalagi buahnya yang telah matang, dalam yajna sangat
diperlukan sekali, seperti untuk perlengkapan daksina bahwa kelapa
menggambarkan bumu. Kemudian kaitannya dengan panca warna, ada lima kelapa yang
sesuai dengan arah timur, selatan, barat, utara dan tengah dengan menggunakan
jenis kelapa, antara lain : kelapa bulan, kelapa gading, kelapaulang, kelapa
ulung dan kelapa sudamala. Kelima jenis kelapa tersebut memiliki makna warna
panca dewata yaitu warna putih untuk dewa Iswara, warna Merah untuk dewa
Brahma, warna Kuning untuk dewa Mahadewa, warna hitam untuk Dewa Wisnu dan
warna panca warna uuntuk dewa siwa. Sedangkan buah pinang sering juga digunakan
seperti pada proses sili asih bahwa buah pinang melambangkan Hyang Brahma.
Adapun buah pisang dan buah-buahan yang banyak digunakan sebagai sarana upakara
yajna, untuk membuat berbagai jenis upakara yang diperlukan termasuk untuk
membuat “gebogan” canang mereka, dan sebagainya. Fungsinya sebagai cetusan rasa
bhakti dan terima kasih kepada Tuhan
III.
Penutup
3.1
Simpulan
Bunga atau puspam dalam bahasa sansekerta merupakan
sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam membuat yajna. sarana berupa
bunga memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan
suatu persembahan atau yajna, baik yang digunakan untuk pelaksanaan yajna
setiap hari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yajna dalam waktu-waktu
tertentu atau naitmitika karma.
Sarana berupa daun juga
dikenal dengan sebutan plawa yaitu
jenis daun-daunan dari suatu tumbuhan tertentu yang digunakan sebagai sarana
yajna bukannya diperoleh secara sembarangan, tetapi diperoleh secraa khusus
yang telah ditanam pada suatu tempat yang suci pula, seperti tanaman bunga yang
ada di halaman satu pura. Persembahan berupa daun atau plawa yang diutamakan adalah nilai kesuciannya atau ketulusiklasan
dalam mempersembahannya. Atau dengan kata lain kecil dalampersembahan namun
besar dalam makna.
Buah-buahan dan
biji-bijian juga merupakan sebagai sarana dalam upacara yajna. jenis
buah-buahan dan biji-bijian banyak digunakan oleh umat hindu sebagai
persembahan dan sebagai wujud rasa terima kasih kehadapan Hyang Widhi yang Maha
Esa pengasih dan dan maha pemberi. Dalam bahasa sansekerta buah dikenal dengan
nama phalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Arwati Sri Made,
1992. Kwangen. Upada Sastra : Denpasar.
Girinata Made,
2009. Acara agama Hindu 1. IHD : Denpasar.
Kaler Ketut,
1983. Tuntunan Muspa Bagi Umat Hindu. Guna Agung : Denpasar.
Pudja
G, 2004. Kitab Suci Bhagavad Gita. Paramita : Surabaya
Tim
Penyusun, 1991. Arti dan Fungsi Sarana Upakara. Pemerintah Daerah
Tingkat 1 Bali : Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar