Selasa, 14 Januari 2014

ACARA AGAMA HINDU 3 (JENIS TANAMAN UPAKARA)

ACARA AGAMA HINDU III

JENIS TANAMAN UPAKARA



Oleh
Kelompok II

1.      Ni Luh Devy Ratna Sari               (10.1.1.1.1.3825)
2.      Komang Sudiasa                           (10.1.1.1.1.3833)
3.      Ni Luh Nopiani                             (10.1.1.1.1.3836)
4.      Desak Putri Maya Kartika Sari     (10.1.1.1.1.3847)
5.      I Gede Surya Adnyana                 (10.1.1.1.1.3856)
6.      Putu Yuli Supriandana                  (10.1.1.1.1.3852)
7.      Ni Putu Wahyu Putri Pratami       (10.1.1.1.1.3863)














JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2013







JENIS TANAMAN UPAKARA
(Oleh Kelompok : II)

I.     Pendahuluan
Berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah salah satu bentuk pengamlaan beragaa Hindu. Di samping itu pelaksanaan agama, juga dilaksanakan dengan karma dan jnyana. Bhakti, karma dan jnyana marga dapat dibedakan dalam pengertian sjaa. Namun dalam pengamalannya ketiga hal itu luluh enjadi satu. Bhakti kepada Tuhan tidak mungkin dapat dilakukan dengan tanpa kerja yang benar adalah kerja kerja yang didasarkan pada pengetahuan atau jnyana. Ketiga hal tersebut merupakan hal yang yang tidak terpisahkan. Masing-masing hanya dapat lebih ditonjolkan sesuai dengan kemampuan umat masing-masing. Ada yang lebih menekankan pada bhaktinya, ada pada karmanya dan ada pula yang menekankan pada janyananya.
Pelaksanaan agama yang lebih menekankan pada jnyanya, kalau sampai mencapai puncak yang tertinggi menjadi “raja marga”. Jadi raja marga adalah puncaknya dari jnyanya marga. Dalam kegiatan upacara kegamaan hindu ketiga jalan tersebut di atas benar-benar luluh menjadi satu. Upacara dilansgungkan dengan rasa penuh bhakti, tulus dan iklas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktudan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan. Untuk melakukan upacara dalam kitab suci sudah ada sastra-sastranya yang dalam kitab suci agama disebut yadnya widhi artinya peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari karma dan jnana adalah bhakti atau penyerahan diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya kita persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. segala pengetahuan yang kita miliki, pada akhirnya juga kita harus persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. dengan cara seperti itulah karma dan jnana marga akan mempunyai nilai yang tinggi. Kegiatan upacara itu banyak enggunakan simbul-simbul atau sarana. Simbul-simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran agama hindu ada dua tahapan. Tahapan pertama yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rohaninya belum begitu maju dapat menggunakan cara berbhakti yang disebut “apara bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lbih tinggi yang disebut “para bhakti”.
Apara bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul dari benda-benda tertentu. Sarana-sarana tersebutmerupakan visualisasi dari ajaran-ajaranagama yang tercantum dala kitab suci. Menurut bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan bahwa sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan. Sarana tersebut adalah pattram (daun-daunan), puspam (bunga), phalam (buah-buahan), dan Toyam (air suci atau tirtha).
Dala kitab lainnya disebutkan pula api yang berwujud “dipa” dan dhupa” merupakan sarana pokok yang juga setiap upacara agama hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara-upkara atau sarana upakara yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam embuat upakara adalah sama. Namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam tulisan ini kami akan batasi hanya membahas tentang Tanaman Upakara seperti daun-daunan, buah-buahan, dan bunga.   
II.      Pembahasan
2.1    Arti dan Fungsi Tanaman Upakara
2.2.1 Bunga
Arti bunga dalam lontar yadnya prakerti disebutkan : “sekare pinako katulu san suci”artinya bunga itu sebagi lambang ketulus iklasan pikiran yang suci. Bunga bagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh umat hindu bukan dilakukan tanpa dasar kitab sucui. Dalam bhagavadgita bab IX 26 menyebutkan unsur-unsur pokok persembahyangan yang ditujukan kepada ida sang hyang widhi wasa di samping daun, buah-buahan, dan air. Adapun bunyi sloka tersebut adalah
Pattram puspam phala toyam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatatmanah
Artinya.
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaku daun, bunga, buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci aku terima.

Bunga merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam membuat yajna. sarana berupa bunga memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu persembahan atau yajna, baik yang digunakan untuk pelaksanaan yajna setiap hari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yajna dalam waktu-waktu tertentu atau naitmitika karma. Kalau kita perhatikan kaitannya dengan pelaksanannya panca yajna, bunga banyak digunakan untuk membuat banten atau sesajen atau upakara yajna.
Bungaa adalah lambang dari kesucian hati dan jiwa sang muspa. Buknkah bunga itu suci, indah dan harum? Untuk muspa, gunakanlah bunga yang segar! Jangan yang telah layu! Lebih-lebih jangan yang telah kerig, terutama bukan sisa sesuatu!demikian pula kwangen. Dapat dijelaskan bahwa bunga dan kwangen tidak memiliki perbedaa pokok.  Kwangen pun adalah simbul dari kesucian hati pula. Bila kwangen tidak ada, maka dapat diganti dengan bunga saja. Adapun sesari  dalam kwangen adalah perwujudan dari kemantapan hasrat hati kita, bahwa muspa itu kita lakukan dengan hati yang yang mantap, dengan sepenuh hati. Kwangen adalah lambang intensitas bobot hati yang tinggi (Kaler:11:1983).
Kemudian dalam kepentingan yang lainnya, bunga juga dipakai sebagai suatu hiasan untuk menumbuhkan suasana keindahan dan menciptakan suasana kenyamanan dala suatu kegiatan tertentu, baik dalam lingkungan keluarga, aktivitas kemasyarakatan, kegiatan hiburan, kegiatan hari raya nasional, kegiatan pesta perkawinan, kunjungan pada tempat-tempat tertentu dan sebagainya. Sungguh banyak manffat dan kegunaan bunga dalam kehidupan bagi manusia. Demikian juga juga halnya dalam kaitannya dengan kehidupan bago umat hindu, bunga memiliki nilai religius, nilai spiritual, dan nilai kesucian yang sangat tinggi. Bunga yang digunakan untuk keperluan yajna atau persembahan, bukanya bunga yang sembarangan atau bunga yang diperoleh asal ada dan dapat, tetapi bunga yang dipilih khusus sesuai dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran agama hindu.
Puspa atau kembang merupakan wujud benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasan. Puspa atau kembang merupakan sarana untk menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mempersebahkan yajna sebagai wujud upakaranya.  Sebagai landasan utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai dengan cinta kasih. Walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekutnum bunga, apabila landasan kesucian dan cinta kasih yang menyertainya, maka persembahan yang demikianlah yang diterima oleh Hyang Widhi.
Kemudian sebaliknya, apabila memliki kemampuan untuk mempersebahkan yang serba banyak, serba mewah, meriah, semarak juga tidak ada salahnya, sepanjang semua persembahan tersbeut merupakan persembahan yang terhormat, persembahan yang dilandasi oleh rasa iklas dan suci, tentulah baik phalanya, karena hyang widhi dapat enerima persembahan tersebut yang disertai dengan kesadaran yang tinggi, bukan sifatnya pamrih yang semata-mata untuk menerima balasannya. Juga bukan merupakan suatupersembahan yang sifatnya paksaan. Suatu persembahan akan dapat diterima dan berphala dengan terpuji, bilamana kesederhanaan serta kesemarakan disertai oleh pendalaman maknanya dan berlandaskan pada konsep kebenaran atau dharma.
Berdasarkan sumber-sumber sastra agama hindu ada menegaskan perlunya melakukan persembahan dengan sarana yang dibenarkan oleh ajaran agama hindu serta yang memilki nilai kesucian. Dengan demikian perlu dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana peujaan maupun dipakai sebagai saran upcara yajna secara umum, antara lain bunga yang mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah warnanya, bunga yang tidak mudah layu, bunga yang dalam keadaan segar atau bunga yang baru dipetik, atau bunga yang tidak tua atau kering, serta bunga yang lainnya yang memenuhi syarat-syarat kesuciaan. Perlu diingat, bunga sebagai sarana dalam upcara yajnya sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu diperciki teirtha penglukatan agar terbebas dari segala kektoran dan malapetaka. Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan adalah jenis bunga yang dapat menghindarai umatnya dari perbuatan-perbuatan dosa atau mala petaka.
Dalam nasakah siwagama dan menegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yajna, terutama untuk mebuat puspalingga serangkaian upacara pitra yajna  yakni untuk memuja upacara pitara dan roh suci leluhur, terutaama dalam upacara atma wedana (memukur atau nyekah) antara lain bunga medori putih dan bambu buluh.
Dalam naskah agastya parwa, menegaskan, inilah bunga yang tidak dapat untuk dipersembahkan kepada bhatara, buga yang berulat, bunga yang jujur tanpa dguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburan, adalah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan agar supaya wajahnya sesuai dengan yang diharapkan, sebab orang yang selalu memuja tersebut akan membentuk kelahiran dan wajahnya.
Jenis-jenis bunga mencari jenis bunga yang dipergunakan dalam kwangen adalah yang segar dan harum serta berasal dari bunga yang hidup, sepertti jenis bunga cempaka, kamboja, sandat dll. Adapun beberapa jenis bunga berdasarkan pustaka suci antara lain yang dipergunakan untuk sarana upakara :
a.       Bunga jempiring alit (tulud nyuh) dan bunga sarikonta. Kedua jenis bunga tersebut menurut pustaka suci rontal”aji janantaka” dinyatakan  tidak mendapatkan “penglukatan atau pembersihan dari dewa siwa.
b.      Bunga yang digigit belalang (ulat) yang sering disebut bunga uledan, bunga semutan, sehingga kesuciannya tercemar dan kesegarannya ternoda. Mengenai bunga yang ini petunjukknya termuat dalam pustaka suci rontal “yama purwana tattwa.
c.       Bunga turung umung atau keduduk petunjukknya termuat dalam pustaka rontal siwagama.
d.      Bunga yang jatuh sendiri dari pohonnya atau telah mati. Hal ini sesuai dengan petunjuk pendeta bali.
e.       Bunga mitir menurut petunujuk rontal kunti yadnya, dinyatakan berasal dari darahnya bhatari durgha (sakti dewa siwa). Dinyatakan tidak patut dipakai sarana upacara dewa yadnya, tetapi kemudian setelah mendapatkan penyupatan oleh dewa siwa, seperti  yang dinaytakan dalam pustaka rontal “aji janantaka” boleh dipakai, tetapi yang kembangnya bagus dan berwarna kekuningan. Selain itu bunga gemitir juga bunga mitir tidak baik dipakai sarana untuk memercikkan tirtha, karena cepat busuk dan mengundang bibit penyakit (Arwati:1992:11-12).  
Menyimak makna sloka diatas, maka dapat ditegaskan  walaupun sungguh besar rasa bhakti ke hadapan Hyang Widhi dan kepada sesam ciptaan-Nya, tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai dengan wujud persembahan berupa yajna, maka kuranglah bermakna cetusan rasabhakti itu. Deikian pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bhakti itu kepada Hyang Widhi dengan persembahan upakara yajna, tetapi persembahan yang kita haturkan ke hadapannya tidak pada tempatny, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut dipersembahkan, mempersembahkan sarana yajna dari hasil jarahan, termasuk juga disini mempersembahkn bung/kembang/puspa/sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan dharma. Maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu diingat bahwa rasa bhakti ke hadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara yajnya yang memiliki nilai kesucian sesuai jenis dan makna dari yajna itu sendiri.
Dalam lontar wariga cemet, ada juga menjelaskan tentang bunga yang dibolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan atma) serangakain dengan upaccara pitra yajna, antara lain, bunga jepun, sari, sincer, pucuk pasat, tulud hyuh, kwanta, soka keling, kenyiri putih, gambir lima, kabari walanda syulan, tiga kancu, sedap malam, anggrek wulan, kamrakan, gunggung cina, mawar, pucuk dadu, tunjung bang, jepun sudamal, seruni putih, anggrek adu, sarikonta, temen, sempol, pucuk susun, soka natar, kuranta, kembang kuning, cepaka keling, bunga gambir, tunjung, lungsur, panca galuh, grayas, sandat, sokasti, cempaka kuning, cempaka putih, katrangan, bunga parijata, pucuk bang lamba, teleng biru, menuh susun, angsana wungu, teleng putih, dause gde medori putih, sulasih harum, tunjung tutuer, sudhamala, tunjung nilawati, grana petak, gadung dan bunga monasuli ergilo.
Demikian beberapa sumber yang menyebutkan jenis-jenis bunga yang diusahakan atau dilarang untuk tidak digunakan sebagai sarana upacara yajna, karena alasan tidak memiliki kesucian, tidak segar, layu, dan bekas dimakan ulat, serta alsaan lainnya. Bunga dalam fungsinya sebagai sarana upacara yajna, maka bunga untuk sarana persembahan, sarana untuk memuja Hyang Widhi, sarana menumbuhkan suasana kesucian, sarana untuk dapat mengkonsentrasi diri, dan sebagai kelengkapan membuat bebanten atau upakara. Perlu diingat bahwa bunga mempunyai dua fungsi yaitu :
a.    Sebagai wujud atau simbol siwa atau Hyang Widhi (Sang Hyang Puspadanta) seperti tercermin dalam mantra berikut ini : Om Puspa dantya namah (wedaparikrama). Dalam sembahynag bunga diletakkan pada ujung kedua jari paling atas (puncak) dan cakupan tangan berada diatas ubun-ubun. Setelah usai enyembah bunga diaturh diatas ubun-ubun atau juga bisa disumpangkan di telinga yang bermakna sebagai simbol siwa atau Hyang Widhi.
b.    Sebagai sarana persebahan atau pemujaan, arena bunga dipakai bebanten atau sarana upakara yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi beserta manihestasinya dan roh suci leluhur (bhagavadgita IX-26).
Memperhatikan tentang arti dan fungsi bunga dalam upacara yajna, maka sesungguhnya makna dari upakara yajna atau bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan antara lain, merupakan cetusan hati manusia (umat hindu) untuk menyatakan terima kasihnya kepada Hyang Widhi, dimana perasannya itu diwujudkan dengan isi dunia, berupa bunga, buah-buahan, daun, air dan sebagainya.
2.2.2 Daun
Menyimak makna sebuah sloka dalam kitab suci bhagavadgita yang berbunyi `patram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya prayacchtai
Tad aham bhaktya-upahrtam
Asnami prayatatmanah
                                    Bhagavadgita IX-26
Atinya.
Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Mencermati sloka yang telah diuraikan, maka daun juga merupakan salah satu sarana dalam upacara yajna. penggunaan daun sebagai sarana upacara yajna atau sarana pemujaan sesuai dengan slokanya disebut dengan patram yaitu wujud persembahan berupa daun yang memiliki nilai kecuian, yang dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi. Sarana berupa daun juga dikenal dengan sebutan plawa yaitu jenis daun-daunan dari suatu tumbuhan tertentu yang digunakan sebagai sarana yajna bukannya diperoleh secara sembarangan, tetapi diperoleh secraa khusus yang telah ditanam pada suatu tempat yang suci pula, seperti tanaman bunga yang ada di halaman satu pura. Halaman pemerajan, serta sekitar tempat-tempat tertentu yang dipandang suci atau yang tidak mencermarkan jeni tumbuhan yang nantinya digunakan sebagai sarana upacara yajnya.
Persembahan berupa daun atau plawa yang diutamakan adalah nilai kesuciannya atau ketulusiklasan dalam mempersembahannya. Atau dengan kata lain kecil dalampersembahan namun besar dalam makna. Persembhan yang demikian disebut dengan “nistaning uttama atau siddhaning don”.
Persembahan yang kecil dan sederhana belum tentu bernilai atau tidak berpahala, begitu pula sebaliknya persembahan yang serba banyak atau mewah akan bernilai mulia atau berphala utama, yang jelas tridak demikian. Persembahan yang banyak dan mewahh yang tidak dilandasi dengan ketulusan dan kesucian, maka tidak bermutulah persembahan tersebut. Apalagi yang beryajnya itu suasannya ricuh, kelut, resah, sedih, selalu bentrok, dalam  hatinya duka, maka sia-sia lah persembahan itu.
Jika mampu mempersembahkannya hanya dengan seteguk, sebiji, sekuntum, termasuk juga hanya dengan sehelai daun, yang diiringi rasa bhakti, rasa iklas, hati yang suci, rasa cinta kasih yang mendalam, suasana yang tenang dan tentram, maka persembahan yang demikian itulah diterima Hyang Widhi (Bhagavadgita IX-26).
            Dalam praktek yang dilakukan oleh umat hindu baik yang nitya karma mauoun yang bersifat naitmitika karma, maka dalam mewujudkan dan kesempurnaan yajna, daun sering digunakan dan bahkan bukan hyany satu jenis daun, tetapi beragam menurut kebutuhan yajna itu. Adapaun jenis-jenis daun yang diperlukan sebagai saran upacara yajna, antara lain :
a.    Daun beringin, b. Daun bilwa, c. Daun perancak, d. Daun dadap, e. Daun rumput, f. Daun pandan arum, g. Daun pudak, h. Daun pohon puring, i. Daun enau, j. Daun kelapa muda atau janur, k.daun nenas, l. Daun andong, m. Daun kayu tulak, n. Daun kayu sisih, o. Daun kayu sari, p. Daun pisang, q. Daun tingkih, r. Daun salak, s. Daun temen, t. Daun sudamala, dll.
Jenis-jenis daun di atas, ada yang sering penggunaannya dan ada juga yang jarang dipakai dan semata-mata bukannya kurang antara daun yang satu dengan jenis dau yang lainnya kurang berguna. Tetapi dilandasi atas kebutuhan dan jenis yajnya yang dipersembahkan. Secara umum jenis-jenisdaun yang digunakan sebagai sarana upacara yajnya merupakan simbol kesucian serta ketulusan dalam beryajna.
Kemudian kalau diperhatikan penggunaan daun beringin merupakan daun yang paling umum digunakan sebagia lambang kesucian, lambang agni, dan sebagai alas untuk kesucian untuk kesucian, baik dalam upacara dewa yajna, pitra yajna, maupun pelaksanaan yajnya yang lainnya. Juga daun bilwa juga digunakan sebagai sarana yajnya yang utama dalam memuja hyang siwa. Selanjutnya kalau kita perhatikan sebuah canang yaitu genten, maka pada canang tersebut terdapat sarana berupa pelawa, sirih, daun pandan, bunga dan sebagainya. Masing-masing sraana tersebut bermkana yang sangat utama, pelawa sebagai simbol atau melambangkan Hyang Wisnu, sedangkan kapur melambangkan dari Hyang Siwa dan Sirih melambangkan Hyang Brahma, daun pandan arum melambangkan simbol daya tarik atau rangsangan untuk memusatkan pikira ke arah kesucian, serta bunga menggambarkan hati yang tulus iklas dan suci.
Dalam upakara yajnya ada dikenal dengan porosan silih asih. Dalam porosan silih asih ini terdapat sarana daun yang bermakna penghormatan kepada Hyang Widhi Wasa. mengingat unsu-unsur yang ada dalam porosan silih asih itu seperti : pinang, daun sirih, dan kapur, semua itu mengandung makna sebagai lambang pemujaan terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
Pada kwangen yang terdiri dari kojong yang terbuat dari daun pisang, porosan silih asih, bunga pelawa, cili (jejahitan dari daunn kelapa muda berbentuk muka manusia), serta uang kepeng bolong( yang berasal dari unsur-unsur panca datu : emas, perak, tembaga, timah, besi). Deawsa ini penggunaan uang kepeng bolong (pis bolong) dapat diganti dengan uang logam sebagai alat tukar yang sah dapat dibaca Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama hindu. Wujud kwangen sebagai simbol Ongkara atau aksara suci Hyang Widhi. Masing-masing unsurnya memiliki simbol tertentu.
Dalam membuat daksina kita jumppai penggunaan pelawa pesesan yaitu campuran dari kelima jenis daun buah-buhan yang juga disebut daun pancapala,  seperti daun durian simbol warna putih, daun  manggis simbol warna merah, daun ceroring/duku simbol warna kuning, daun mangga simbol campuran warna-warna. Kelima daun tersebut 9pelawa peselan atau daun pana-pala) kalau kita perhatikan dari segi warnanya dapat bermakna pemujaan terhadap Panca Dewata yaitu dewa Iswara arah timur, dewa Brahma arah selatan, Dewa Mahadewa arah barat, Dewa Wisnu arah Utara,  dan dewa siwa pada posisi tengah (madya). Pada daksina ada penggunaan daun sirih yang disebut Base Tampel atau sirih, bentuknya menggambarkan orang-orang sedang bersembahyang.
Dalam upacara pawiwahan (manusia yadnya), ada digunakan daun dadap beserta batangnya yang terdiri dari dua cabang dan masing-masing cabang diikat dengan benang, diisi dengana uang kepeng berjumlah sebelas, diisi dengan kwangen, kemudian ditancapkan agak berjauhan, lalu kedua mempelai melangkahi dan diinjak hingga benang putihnya, ini disebut dengan “pepegatan”.
Pada banten penyeneng kita jumpai penggunaan daun dadap yang disebut “tepung tawar”. Sarana ini terbuat dari daun dapdap kunir dan berasan yang telah ditumbuk (tidak terlalu halus) dan ditaruh pada sebuah kojong yang merupakan sarana kelengkapan banten penyeneng. Tepung tawar adalah untuk pensucian diri dan terbebas dari kekotoran.
Dalam banten mabyakala atau mabyakaon dijumpai adanya penggunaan Lis serangkaian dengan upacara dalam panca yajna. lis ini terbuat daru daun janu, daun andong merah, daun kayu tulak, daun kayu sirih, daun dadap, serta perlengkapan yang lainnya sesuai dengan desa kala patra. Lis digunakan untuk mencipratkan atau memercikkan tirtha atau air suci. Lis memiliki makna untuk sarana penyucian diri guna menjauhkan kekuatan negatif yang mengganggu manusia dan tentunya kekuatan dan kesucian lahir bathin. Dalam tingkatan upacara yang lebihbesar bisasnya digunakan lis ageng/lis gede. Sedangkan dalam upacara biasa/kecil digunakan lis alit atau lis padma.
Demikian secara sederhana diuraikan beberapa jenis daun yang digunakan sebagai sarana upacara yajna, yang memiliki arti/makna/simbol tertentu sesuai dengan jenis upakara yajna yang dipersembahkan serta disesuaikan pula dengan desa kala patra atau situasi setempat dengan mengikuti keluwesan dan kesucian dari pada yajan yang di haturkan kehadapan Hyang Widhi Wasa oleh umat hindu dimanapun berada. Perlu diingat bhawaa sarana persembahan berupa daun, bilamana tidak akan mengurangi makna yajna itu, dengan pertimbangan bahwa kesucian dan ketulusanlah yang menjadi dasar utama dari persembahan itu.

2.2.3 Buah-buahan atau biji-bijian
Buah-buahan dan biji-bijian juga merupakan sebagai sarana dalam upacara yajna. jenis buah-buahan dan biji-bijian banyak digunakan oleh umat hindu sebagai persembahan dan sebagai wujud rasa terima kasih kehadapan Hyang Widhi yang Maha Esa pengasih dan dan maha pemberi. Apa yang kita miliki itulah yang dipersembahkan. Hasil karya berupa buah dan biji-bijian sebenarnya merupakan anugerah Tuhan, dan perlu disadari bahwa segala yang ada merupakan ciptaan-Nya. Sarana persembahan berupa buah-buahan dan biji-bijian hendaknya dipersembahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan selalu dalam keadaan suci atau sukla. Diushakan agar tidak mempersembahkan suatu sarana yajna yang bukan milik sendiri, apalagi memperoleh sarana persembahan dengan jalan kekerasan atau hasil curian, sudah tentu hal seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu.
Sesuai dengan bunyi sloka bhagavadgita IX 26, ada penegasan mengenai sarana persembahan berupa buah-biahan atau biji-bijian yang tersirat dalam kata “phalam”. Kata phalam berasala dari bahasa sansekerta, yang artinya sebiji buah-buahan. Dari kata phala ini, maka ada jenis buah-buahan, antara lain, phala gantung, phala bungkah dan phala wija.
Yang dimaksud dengan phala gantung adalah jenis buah-buahan dari suatu pohon tertentu seperti, buah kelapa, buah pisang, buah mangga, buah rambutan, buah durian, buah apel, buah manggis, buah pinang, buah wani, buah salak, dan jenis buah-buahan yang lainnya.  Kalau phala bungkah adalah suatu hasil yang diperoleh dari suatu tanaman tertentu. Jenis phala bungkah ini berupa umbi-umbian, umbi kunyit, umbi jahe, umbi kencur, umbi lengkuas,, maupun jenis umbi yang lainnya. Sedangkan phalawija adalah suatu hasil yang berupa biji-bijian seperti jagung, padi, kacang-kacangan, dan sebagainya.
Diantara jenis buah-buahan yang paling sering digunakan sebagai sarana upacara yajna seperti buah kelapa, buah pisang dan buah pinang. Jenis buah kelapa merupakan jenis buah yang serba guna, oleh karena daunnya berguna untuk yajna, buahnya yang muda (kelungah) berguna sebagai tirtha, batangnya dan yang lainnya berguna bagi kehidupan manusia. Apalagi buahnya yang telah matang, dalam yajna sangat diperlukan sekali, seperti untuk perlengkapan daksina bahwa kelapa menggambarkan bumu. Kemudian kaitannya dengan panca warna, ada lima kelapa yang sesuai dengan arah timur, selatan, barat, utara dan tengah dengan menggunakan jenis kelapa, antara lain : kelapa bulan, kelapa gading, kelapaulang, kelapa ulung dan kelapa sudamala. Kelima jenis kelapa tersebut memiliki makna warna panca dewata yaitu warna putih untuk dewa Iswara, warna Merah untuk dewa Brahma, warna Kuning untuk dewa Mahadewa, warna hitam untuk Dewa Wisnu dan warna panca warna uuntuk dewa siwa. Sedangkan buah pinang sering juga digunakan seperti pada proses sili asih bahwa buah pinang melambangkan Hyang Brahma. Adapun buah pisang dan buah-buahan yang banyak digunakan sebagai sarana upakara yajna, untuk membuat berbagai jenis upakara yang diperlukan termasuk untuk membuat “gebogan” canang mereka, dan sebagainya. Fungsinya sebagai cetusan rasa bhakti dan terima kasih kepada Tuhan
III.   Penutup
3.1    Simpulan
Bunga atau puspam dalam bahasa sansekerta merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam membuat yajna. sarana berupa bunga memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu persembahan atau yajna, baik yang digunakan untuk pelaksanaan yajna setiap hari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yajna dalam waktu-waktu tertentu atau naitmitika karma.
Sarana berupa daun juga dikenal dengan sebutan plawa yaitu jenis daun-daunan dari suatu tumbuhan tertentu yang digunakan sebagai sarana yajna bukannya diperoleh secara sembarangan, tetapi diperoleh secraa khusus yang telah ditanam pada suatu tempat yang suci pula, seperti tanaman bunga yang ada di halaman satu pura. Persembahan berupa daun atau plawa yang diutamakan adalah nilai kesuciannya atau ketulusiklasan dalam mempersembahannya. Atau dengan kata lain kecil dalampersembahan namun besar dalam makna.
Buah-buahan dan biji-bijian juga merupakan sebagai sarana dalam upacara yajna. jenis buah-buahan dan biji-bijian banyak digunakan oleh umat hindu sebagai persembahan dan sebagai wujud rasa terima kasih kehadapan Hyang Widhi yang Maha Esa pengasih dan dan maha pemberi. Dalam bahasa sansekerta buah dikenal dengan nama phalam.






DAFTAR PUSTAKA

Arwati Sri Made, 1992. Kwangen. Upada Sastra : Denpasar.
Girinata Made, 2009. Acara agama Hindu 1. IHD : Denpasar.
Kaler Ketut, 1983. Tuntunan Muspa Bagi Umat Hindu. Guna Agung : Denpasar.
Pudja G, 2004. Kitab Suci Bhagavad Gita. Paramita : Surabaya
Tim Penyusun, 1991. Arti dan Fungsi Sarana Upakara. Pemerintah Daerah
          Tingkat 1 Bali : Denpasar.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar