Kamis, 16 Januari 2014

ETIKA YOGA DAN ASTNGGA YOGA (MAKALAH DARSANA)



MAKALAH DARSANA
ETIKA YOGA DAN ASTANGGA YOGA

DOSEN PENGAMPU : Ketut Bali Sastrawan, S.Ag, M.Pd.H





OLEH :
KOMANG SUDIASA
NIM : 10.1.1.1.1.3833
KELAS : PAH A / VI













FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2013





KATA PENGANTAR
Om, Swastyastu   

            Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa  karena atas rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak I Ketut Bali Sastrawan selaku dosen mata kuliah Darsana II, Fakultas Dharma Acarya, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
            Penulis membuat makalah  ini yang berjudul “Etika Yoga Dan Astangga Yoga”. Supaya para pembaca sadar tau tentang Etika Yoga dan Astangga Yoga.
            Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, tidak lupa pula bapak selaku dosen yang telah mendidik dan mengajar penulis. Dan juga kepada teman – teman yang telah membantu lancarnya dalam pembuatan makalah ini.
            Namun demikian penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki sehingga kemungkinan adanya kekurangan – kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca guna menyempurnakan makalah ini untuk sebagai pedoman dalam penulisan dan penyusunan makalah selanjutnya. Sebagai akhir kata dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om
                                                                                                                                                                                                                   Singaraja,    September 2012                                                                  

Penulis

                                   


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
1.2  Rumusan Masalah........................................................................................... 2
1.3  Tujuan Penulisan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Etika Yoga Dalam Ajaran Yoga Darsana..................................................... 3
2.2 Konsep Astangga Yoga Dalam Ajaran Yoga Darsana................................ 4

BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan........................................................................................................... 13
3.2 Saran................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA















BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Darsana merupakan ilmu filsafat sebagai salah satu cabang terpenting dalam ilmu agama hindu,di dalam mengamalkan ajaraan-ajaran agama Hindu. Karena pada hakekatnya semua ajaran agama hindu bernafaskan weda.  Salah satu nya adalah Yoga. Kata yoga berasal dari kata yuj yang artinya menghubungkan dan yoga itu sendiri merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi (maswinara, 1999:163). Di dalam yoga ada disebutkan tentang etika yoga, etika artinya ilmu tentang moralitas. 
Yoga merupakan cara displin yang ketat terhadap diet makan, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata, berfikir, dan hal ini harus dilakukan di bawah pengawasan yang cermat dari seorang yogin yang ahli dan mencerahi jiva. Ada banyak jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi. Jalan yang berbeda-beda itu tampakanya memiliki tujuan yang sama yaitu sebuah penyatuan tertinggi antara Atman dengan Brahman. Kita lahir berulang kali untuk meningkatakan perkembangan evolusi jiwa. Dan masing-masing dari kita berada pada tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Karena itu tiap orang disiapkan untuk tingkat pengetahuan spiritual yanag berbeda pula. Semua jalan rohani yang ada di dunia ini penting karena ada orang-orang yang membutuhkan ajarannya. Penganut suatu jalan rohani dapat saja tidak memiliki pemahaman lengkap tentang sabda Tuhan dan tidak akan pernah selama masih berada dalam jalan rohani tersebut. Jalan rohani itu merupakan sebuah batu loncatan untuk pengetahuan yang lebih lanjut. Dengan demikian kita tidak berhak untuk mencerca jalan rohani yang lain. Semua berharga dan penting di mata-Nya. Ada pemenuhan sabda Tuhan, akan tetapi kebanyakan oaring tidak meperolehnya di sini untuk bisa meraih kebenaran, kita perlu mendengarkan roh dan melepas ego kita.
Dan Yoga sebagai salah satu jalan yang bersifat universal adalah salah satu jalan rohani dengan tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan kemapuan spiritual seseorang. Yoga merupakan suatu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Yoga juga meningkatkan daya konsentrasi, mengendalikan tingkah laku dan pengembaraan pikiran, sehingga keadaanya menjadi jernih, yang tak terwarnai oleh hubungan pikiran dengan obyek-obyek duniawi.  Tujuan yoga adalah untuk mengajarkan roh pribadi agar dapat menacapai penyatuan yang sempurna dengan roh yang tertinggi, yang dipengaruhi oleh vrrti  atau gejolak pemikiran dari pikiran, sehingga keadaannya menjadi jernih.
Tulang punggung daripada etika yoga adalah yama dan niyama. Yang dimana merupakan salah satu dari bagian astangga yoga. Adapun bagian-bagian astangga yoga dengan delapan anggota yang ditempuh melalui disiplin yoga yaitu, Yama (larangan), Ni Yama (ketaatan), Asana (sikap badan), Pranayama (pengaturan nafas), Pratyahara (penarikan indra dari obyek), Dharana (konsentrasi), Dhyana (meditasi) , dan Samadhi keadaan supra sadar).

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana Etika Yoga di dalam ajaran Yoga Darsana?
1.2.2        Bagaimanakah Konsep dari Astangga Yoga di dalam ajaran Yoga Darsana?
1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        untuk mengetahui etika yoga di dalam ajaran yoga darsana
1.3.2        Untuk mengetahui Konsep dari Astangga Yoga di dalam ajaran Yoga Darsana



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etika Yoga dalam Ajaran Yoga Darsana
            Etika yang nama lainnya adalah susila sesungguhnya adalah suatu bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama agara terjadi keharmonisan hidup di antara sesama dan lingkungan sekitarnya (Sayang Supardi, 2004 : 10). Etika juga merupakan pedoman moral bagi orang tertentu, agama, profesi, dan sebagainya.
            Disadari atau tidak etika itu sebenarnya telah ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Namun, etika itu mengalami kemunduran (Degradasi) dari zaman ke Zaman. Dalam kehidupan Sehari-hari etika perlu mendapat perhatian lebih serius dan ditingkatkan terus-menerus kwalitasnya karena dari etika yang baik akan menghasilkan generasi yang berkualitas baik juga. Etika yang buruk hanya akan menhasilkan kegagalan dalam hidup ini. Sangat disayangkan kalau dalam hidup ini yang telah dilalui dengan susah payah dan sangat lama tidak dapat menunjukkan kwalitas manusia sejati gara-gara hidup tanpa etika. Jika demikian adanya, apakah arti semua hidup ini? Tidak lain, layaknya mayat berjalan. Artinya kelihatan hidup, tetapi tidak ada gunanya atau sia-sia.
            Yoga adalah penghubung, pengaitan atau persatuan jiwa individual dengan Beliau Yang Maha Esa, mutlak dan tak terbatas. Ia juga berarti penghentian goncangan-goncangan pikiran. Anda tidak dapat menjadi yogin, kecuali bilamana anda adalah seorang Theis (percaya kepada Tuhan) dan theisme akan tidak ada arti, kecuali anda mengikuti tingkatan mental dapat berlangsung secara kontinyu. Ada dua jenis tingkatan konsentrasi atau semadhi, yaitu : Samprajnata Samadhi (konsentrasi sadar), dimana ada obyek konsentrasi  yang pasti dan pikiran tetap sadar akan obyek tersebut ( Maswinara, 1999:167).

Adapun 4 bentuk-bentuk dari Samprajnata Samadhi itu atau menurut jenis obyek pernungannya yaitu,
1.      Savitarka (dengan pertimbangan), konsentrasi pikiran yang dikonsentrasikan pada obyek kasar (benda kasar dan nyata), seperti arca dewa atau dewi
2.      Savicara (dengan renungan), konsentrasi pikiran yang dikonsentrasikan pada obyek yang halus tidak kelihatan nyata, seperti Tanmantra.
3.      Sananda (dengan kegembiraan), konsentrasi pikiran dipusatkan pada obyek yang halus, seperti Indriya
4.      Sasmita (dengan arti kepribadian), konsentrasi pikiran di tujukan kepada anasir rasa aku. Biasanya dalam kondisi ini Roh akan menyamakan dirinya dengan anasir itu. Yang kedua adalah Asamprajnata Samadhi, dimana perbedaan antara obyek yang dimeditasikan dan subyek menjadi lenyap dan terlampui atau transenden sedangkan pada pada Samprajnata Semadhi ada kesadaran yang jernih tentang obyek yang dimeditasikan yang berbeda dengan subyek.  
2.2 Konsep dari Astangga Yoga di dalam ajaran Yoga Darsana
            Dalam menjalankan yoga ada tahap-tahap yang harus ditempuh yang disebut dengan Astangga Yoga. Astangga Yoga artinya delapan tahapan-tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan yoga. Adapun bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian), Nyama (peraturan-peraturan), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Pratyahara (menarik semua indriya kedalam), Dharana (telah memusatkan diri dengan Tuhan), Dhyana (mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama Tuhan), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merialisasikan diri).

Berikut dibawah ini penjelasan dari tentang Astangga Yoga yaitu :
1.      Yama (pantangan, pengendalian diri), yang terdiri atas lima perintah :
a.       Ahimsa (tanpa kekerasan), jangan melukai mahluk lain manapun dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
b.      Satya ( kebenaran dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, atau pantangan terhadap kepalsuan, penipuan dan kecurangan).
c.       Asteya, yakni pantang untuk menginginkan sesuatu yang bukan milik nya sendiri yang muncul dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
d.      Brahmacarya, yakni pantang untuk kenikmatan seksual dalam pikiran, perkataan dan tindakan.
e.       Aparigraha (pantang kemewahan), seorang yogin harus hidup sederhana, tidak menghendaki banyak kepemilikan, tapi juga tidak mengingini kemewahan yang melebihi apa yang diperlukan.
Kelima yama yang disebutkan diatas merupakan suatu keharusan tanpa perkecualian. Seorang yang melanggar disiplin di atas itu dalam hal apapun, berbuat suatu kesalahan. Patanjali menyebut kelima yama ini mahavrata atau sumpah besar. Pelanggarannya tidak diperkenankan dan tidak ada alasan untuk mengelakkannya. Patanjali mengatakan bahwa kepatuhan pada kelima yama itu diwajibkan dan dipertahankan dalam tiap keadaan,(Saraswati, 1979:47). Dikatakan juga ketaatan pada kelima yama itu merupakan Kode Etik Universal ( sarvabhauma) (Maswinara, 1999:166).
2.      Niyama, (suruhan untuk berdidplin, beradab, dengan memupuk kebiasaan baik) berikut kelima Niyama itu yaitu :
a.       Sauca, kebersihan lahir batin. Lambat laun seseorang yang menekuni prinsip ini akan mulai mengesampingkan kontak fisik dengan badan orang lain dan membunuh nafsu yang mengakibatkan kekotoran dari kontak fisik tersebut (Patanjali Yoga Sutra II.40).

Sauca juga menganjurkan kebajikan Sattvasuddi atau pembersihan kecerdasan untuk membedakan (1) saumanasya atau keriangan hati, (2) ekagrata atau pemusatan pikiran, (3) indriajaya atau pengawsan nafsu-nafsu, (4) atmadarsana atau realisasi diri (Patanjali Yoga Sutra II.41).
b.      Santosa atau kepuasan. Hal ini dapat membawa praktisi Yoga kedalam kesenangan yang tidak terkatakan. Dikatakan dalam kepuasan terdapat tingkat kesenangan transendental (Patanjali Yoga Sutra II.42).
c.       Tapa atau mengekang. Melalui pantangan tubuh dan pikiran akan menjadi kuat dan terbebas dari noda dalam aspek spiritual (Patanjali Yoga Sutra II.43).
d.      Svadhyaya atau mempelajari kitab-kitab suci, melakukan japa (pengulangan pengucapan nama-nama suci Tuhan) dan penilaian diri sehingga memudahkan tercapainya “istadevata-samprayogah, persatuan dengan apa yang dicita-citakannya (Patanjali Yoga Sutra II.44).
e.       Isvarapranidhana atau penyerahan dan pengabdian kepada Tuhan yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan samadhi (Patanjali Yoga Sutra II.45).
Diatas Yama dan Niyama telah diuaraikan semuanya sepuluh kode moral atau kebajikan etka yang harus diwujudkan. Kebalikan dari sepuluh kebaikan yang harus diwujudkan  (Yama dan Niyama) disebut sebagaia vitarka, yaitu kesalahan-kesalahan yang harus dengan teliti dijauhkan dan dihilangkan, yaitu :
a.       Himsa atau kekerasan dan tidak sabar sebagai lawan ahimsa
b.      Asatya atau kepalsuan sebagai lawan dari satya
c.       Steya atau keserakahan sebagai lawan dari asteya
d.      Vyabhicara atau kenikmatan seksual sebagai lawan dari brahmacarya
e.       Asauca atau kekotoran sebagai lawan dari sauca
f.       Asantosa atau ketidakpuasan sebagai lawan dari santosa
g.      Vilasa atau kemewahan sebagai lawan tapa
h.       Pramada atau kealpaan sebagai lawan svadhyaya
i.         Prakrti-pranidhana atau keterikatan pada prakrti sebagai lawan dari isvarapranidhana
Dengan menempuh jalan kebaikan bukan berarti seseorang dengan sendirinya dilindungi terhadap kesalahan yang bertentangan. Jangan menyakiti orang lain belum tentu berarti perlakukan orang lain dengan baik. Kita harus melakukan keduanya, tidak menyakiti orang lain dan sekaligus melakukan keramah-tamahan.
3.      Asana, suatu cara atau sikap duduk yang baik, kuat dan menyenangkan. Sikap ini bermacam-macam adanya, seperti padmasana (sikap teratai), wajrasana (sikap tabah), dhanu asana (sikap busur), sarwangan asana (sikap berdiri diatas bahu), hala-asana (sikap bajak), Bhujangga asana (sikap ular kobra), salabha asana (sikap belalang), pascimo asana ( sikap melurus kemuka), padahasta asana ( sikap berdiri bungkuk ke muka), ardhamatsyeandra asana ( sikap berputar), supra waja asana (sikap pangul), dhanuh asana (sikap busur tabah), mayura asana (sikap merak), matsya asana ( sikap ikan), badha asana), sikap teratai guru), kukta asana( sikap ayam jantan), uttama kurma asana (sikap penyu), sirsa asana ( sikap badan terbalik). Demikianlah asana-asana yang ada dalam yoga. Artinya yoga Patanjali tidak mempermasalahkan untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan dan keinginan peserta yoga. Namun demikian hendaknya peserta yoga berpandangan bahwa semua asana itu merupakan sukha asana I, suatu asana/sikap yang menyenangkan.
4.      Pranayama, pengaturan nafas atau pengaturan nafas keluar masuk paru-paru melalui lubang hidung dengan tujuan menyebarkan prana (energi) keseluruh tubuh. Dalam pelatihan Yoga pernafasan perlu diatur untuk membersihkan darah, mengawasi pemusatan pikiran, karena sangat menguatkan badan-badan dan meneguhkan pikiran. Pranayama dilakukan dengan tiga cara yaitu menarik nafas panjang dan dalam-dalam (puraka), menahan nafas (kumbaka), da mengeluarkan nafas (caraka). Pranayama dapat dilakukan dengan jalan/tahapan-tahapan dibawah ini sebagai berikut:
a.       Tahap Pertama, dengan cara menutup bibir dan menarik nafas ke dalam sepanjang waktu tertentu, kemudian mengeluarkannya dalam waktu tertentu pula.
b.      Tahap kedua, dilakukan dengan menutup lubang hidung kiri dengan telunjuk tangan kiri, tarik nafas secara perlahan melalui lubang hidung kanan secara perlahan selama tiga detik. Kemudian dengan jari tengah kiri, tutuplah lubang kanan hidung. Dan keluarkan nafas melalui lubang kiri hidung.
c.       Tahap ketiga laksanakan rileks dengan istirahat sejenak. Pada saat ini tarik nafas melalui kedua lubang hidung sebanyak yang dilakukan. Buka mulut dengan bibir membuat lubang bulat untuk mengeluarkan nafas lamanya 5 detik.
d.      Tahap keempat, latihan menarik nafas dan menahan nafas adalam kondisi duduk tenang sambil menghitung bhur, bhuah, svah.
e.        Tahap kelima, merupakan pengulangan latihan tahap keempat, hanya saja bawah perut tidak boleh mengembung. Duduklah dengan tenang, bernafaslah melalui bantuan rusuk dan otot sekat rongga badan tidak bergerak.
f.       Tahap keenam, latihan dilakukan dengan duduk tegak, kepala sedikit maju ke depan tapi dibawah perut yang diperkecil seperti kita mengisapnya ke dalam dada. Barulah menarik nafas dalam-dalam dan menahannya sampai 7 hitungan, kemudian keluarkan secara perlahan sambil menurunkan bahu, dengan rusuk diperkecil dan bawah perut ditarik ke atas untuk mengeluarkan sebanyak mungkin udara lama dari paru-paru.
g.      Tahap ketujuh, latihan penahanan nafas (Kumbhaka), tanpa melakukan puraka dana caraka. Pelaksanaannya menarik nafas seperti biasa dan menahannya lima detik hingga satu menit, dilakukan berulang-ulang lebih lama dari waktu sebelumnya, dilanjutkan dengan rileks dan istirahat secukupnya.
5.      Pratayaksa, Adalah penguasaan panca indria oleh pikiran sehingga apapun yang diterima panca indria melalui syaraf ke otak tidak mempengaruhi pikiran. Panca indria adalah : pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah dan rasa kulit. Pada umumnya indria menimbulkan nafsu kenikmatan setelah mempengaruhi pikiran. Yoga bertujuan memutuskan mata rantai olah pikiran dari rangsangan syaraf ke keinginan (nafsu), sehingga citta menjadi murni dan bebas dari goncangan-goncangan. Jadi yoga tidak bertujuan mematikan kemampuan indria. Untuk jelasnya mari kita kutip pernyatan dari Maharsi Patanjali sebagai berikut : Sva viyasa asamprayoga, cittayasa svarupa anukara, iva indriyanam pratyaharah, tatah parana vasyata indriyanam. Artinya : Pratyahara terdiri dari pelepasan alat-alat indria dan nafsunya masing-masing, serta menyesuaikan alat-alat indria dengan bentuk citta (budi) yang murni. Makna yang lebih luas sebagai berikut : Pratyahara hendaknya dimohonkan kepada Hyang Widhi dengan konsentrasi yang penuh agar mata rantai olah pikiran ke nafsu terputus.
6.      Dharana artinya mengendalikan pikiran agar terpusat pada suatu objek konsentrasi. Objek itu dapat berada dalam tubuh kita sendiri, misalnya “selaning lelata” (sela-sela alis) yang dalam keyakinan Sivaism disebut sebagai “Trinetra” atau mata ketiga Siwa. Dapat pula pada “tungtunging panon” atau ujung (puncak) hidung sebagai objek pandang terdekat dari mata.
Para Sulinggih (Pendeta) di Bali banyak yang menggunakan ubun-ubun (sahasrara) sebagai objek karena disaat “ngili atma” di ubun-ubun dibayangkan adanya padma berdaun seribu dengan mahkotanya berupa atman yang bersinar “spatika” yaitu berkilau bagaikan mutiara. Objek lain diluar tubuh manusia misalnya bintang, bulan, matahari, dan gunung. Penggunaan bintang sebagai objek akan membantu para yogin menguatkan pendirian dan keyakinan pada ajaran Dharma, jika bulan yang digunakan membawa kearah kedamaian bathin, matahari untuk kekuatan phisik, dan gunung untuk kesejahteraan. Objek diluar badan yang lain misalnya patung dan gambar dari Dewa-Dewi, Guru Spiritual. yang bermanfaat bagi terserapnya vibrasi kesucian dari objek yang ditokohkan itu. Kemampuan melaksanakan Dharana dengan baik akan memudahkan mencapai Dhyana dan Samadhi.
Menurut Patanjali terdapat tujuh metodhe dharana dalam pemusatan pikiran yaitu :
a.       Bermeditasi, dilakukan apabila mengalami suatu kegoncangan.
b.      Bersikap mental yang baik terhadap orang lain. Inni perlu untuk menenangkan budhi.
c.       Pengucapan yoga sutra patanjali “Pracchardana widarana-bhyamwa pranasya” widarana-bhyamwa pranasya artinya juga dengan menguasao dan menundukkan nafas.
d.      Kemantapan budi, dilakukan dengan melatih konsentrasi pada persepsi-persepsi berperasaan yang lebih tinggi.
e.       Jyotismati, suatu metode meditasi yang dilakukan pada cahaya bathin yang cemerlang yang berada di luar penderitaan. Tujuannya untuk mengantarkan seorang yogi kepada kebahagian-Nya. Cahaya yang dimaksud dalam metode ini adalah cahaya yang ada dalam jantung yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata.
f.       Konsentrasi pada orang-orang suci, suatu cara meditai dengan memusatkan pikiran kepada ornag-orang suci, misalnya kepada para maha rsi dengan tujuan agar  beliau membantu menenangkan budhi, karena beliau dipandang sebagai yang telah bebas dari ikatan duniawian.
g.      Pengetahuan dalam mimpi, suatu cara meditasi yang dilakukan dnegan merenungkan pengetahuan yang diperoleh melalui mimpi pada saat tidur. Dalam yoga. Dalam yoga sutra disebutkan Swapna nidra Jana alambanan. Apa yang dialami melalui mimpi sering dimeditasikan oleh yang mempraktekan yoga, karena dapat membantu dirinya baik dalam keadaan suka maupun duka.
7.      Dhyana, Dhyana adalah suatu keadaan dimana arus pikiran tertuju tanpa putus-putus pada objek yang disebutkan dalam Dharana itu, tanpa tergoyahkan oleh objek atau gangguan atau godaan lain baik yang nyata maupun yang tidak nyata.
Gangguan atau godaan yang nyata dirasakan oleh Panca Indria baik melalui pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah maupun rasa kulit. Ganguan atau godan yang tidak nyata adalah dari pikiran sendiri yang menyimpang dari sasaran objek Dharana. Tujuan Dhyana adalah aliran pikiran yang terus menerus kepada Hyang Widhi melalui objek Dharana, lebih jelasnya Yogasutra Maharsi Patanjali menyatakan : “Tatra pradyaya ekatana dhyanam” Artinya : Arus buddhi (pikiran) yang tiada putus-putusnya menuju tujuan (Hyang Widhi). Kaitan antara Pranayama, Pratyahara dan Dhyana sangat kuat, dinyatakan oleh Maharsi Yajanawalkya sebagai berikut : “Pranayamair dahed dosan, dharanbhisca kilbisan, pratyaharasca sansargan, dhyanena asvan gunan : Artinya : Dengan pranayama terbuanglah kotoran badan dan kotoran buddhi, dengan pratyahara terbuanglah kotoran ikatan (pada objek keduniawian), dan dengan dhyana dihilangkanlah segala apa (hambatan) yang berada diantara manusia dan Hyang Widhi.
8.      Samadhi, Samadhi adalah tingkatan tertinggi dari Astangga-yoga, yang dibagi dalam dua keadaan yaitu : 1) Samprajnatta-samadhi atau Sabija-samadhi, adalah keadaan dimana yogin masih mempunyai kesadaran, dan 2) Asamprajnata-samadhi atau Nirbija-samadhi, adalah keadaan dimana yogin sudah tidak sadar akan diri dan lingkungannya, karena bathinnya penuh diresapi oleh kebahagiaan tiada tara, diresapi oleh cinta kasih Hyang Widhi.
Baik dalam keadaan Sabija-samadhi maupun Nirbija-samadhi, seorang yogin merasa sangat berbahagia, sangat puas, tidak cemas, tidak merasa memiliki apapun, tidak mempunyai keinginan, pikiran yang tidak tercela, bebas dari “catur kalpana” (yaitu : tahu, diketahui, mengetahui, Pengetahuan), tidak lalai, tidak ada ke-”aku”-an, tenang, tentram dan damai. Samadhi adalah pintu gerbang menuju Moksa, karena unsur-unsur Moksa sudah dirasakan oleh seorang yogin. Samadhi yang dapat dipertahankan terus-menerus keberadaannya, akan sangat memudahkan pencapaian Moksa. 

           
           
           
           















BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Yoga sebagai sebuah cara atau jalan untuk mengendalikan pikiran yang terobyektifkan serta kecendrungan alami pikiran dan mengatur segala kegelisahan-kegelisahan pikiran agar tetap tak terpengaruh sehingga bisa mencapai penyatuan antara kesadaran unit dan kesadaran kosmik.
Astangga yoga merupakan tahapan-tahapan yang harus dijalankan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas spiritual. Astangga Yoga berarti delapan tahapan yang harus dilaksanakan dalam beryoga. Bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian), Nyama (peraturan-peraturan), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Prathyahara (menarik semua indrinya kedalam), Dharana (telah memutuskan untuk memusatkan diri dengan Tuhan), Dhyana (mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama Tuhan), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merialisasikan diri).
3.2 Saran
Sebagai generasi muda Hindu yang menuntut pendidikan formal di perguruan tinggi bernafaskan Hindu sudah semestinya kita menjadi pioneer dalam melaksanakan Astangga Yoga tersebut. Karena ajaran yang universal ini apabila dijalankan dengan penuh ketulusan hati kita pasti akan sampai pada cita-cita yang diharapkan. Memahami yoga lebih dalam lagi akan membantu meluruskan persepsi seseorang yang kurang akan informasi tentang Yoga yang telah mengundang persepsi keliru dan tidak sedikit di kalangan awam. Yoga sering dikacaukan dengan Tapa, bahkan dengan sesuatu yang berbau takhayul. Atau memandangnya dari sudut pandang kegaiban dan kanuragan saja. Jadi ini menjadi momen baik bagi kita untuk lebih memahami yoga lagi.
     
DAFTAR PUSTAKA
http://AstanggaYoga.ucla.edu/portal/ucla/how-to-build-a-bigger-brain-91273.aspx
Maswinara I Wayan.1999. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Paramita, Surabaya.
Saraswati Prakas Satya Swami.1996. Patanjali Raja Yoga. Paramita, Surabaya.
W Sayang Yupardi.2004. Disiplin dan Sadhana Spiritual. Paramita, Surabaya.



1 komentar: