YOGA II
ESENSI
AJARAN YOGA DALAM SIVARATRIKALPA
DOSEN PENGAMPU : I KETUT SUMARDANA
S.Pd.H
OLEH KELOMPOK IV :
1. KADEK
HANDARA (10.1.1.1.1.3830)
2. LUH
APRIANTINI (10.1.1.1.1.3831)
3. KADEK
IWAN SUARCAHYANA (10.1.1.1.1.3832)
4. KOMANG
SUDIASA (10.1.1.1.1.3833)
5.
I GUSTI PUTU ARYA
WIBAWA (10.1.1.1.1.3834)
6. NI
KADEK CINTIANI (10.1.1.1.1.3836)
FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2012
Esensi
Ajaran Yoga Dalam Sivalatrikalpa
(oleh
: kelompok IV)
I.
Pendahuluan
Pembicaraan tentang dan seputar
Siwaratri sudah cukup banyak dilakukan. Siwaratri adalah hari yang selalu
dilaksanakan oleh umat Hindu. Hari Siwaratri dilaksanakan setiap setahun sekali, yaitu pada hari ke 14 paruh gelap bulan ke tujuh (panglong ping 14 sasih kepitu).
Penyambutannya ditandai dengan pelaksanaan brata Siwaratri yang terdiri atas : jagra, upawasa, dan mono brata. Dalam hal ini siwaratri
bagi umat hindu adalah sebagai malam perenungan dosa.
Siwaratri dalam agama hindu memiliki
ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya untuk manusia bagaimana untuk
melakukan suatu perubahan untuk penyadaran diri. Siwaratri terdapat
sumber-sumber ajaran siwaratri. Dalam kepustakaan sansekerta uarian tentang
siwaratri, upacaranya sekaligus dengan si pemburunya yang naik sorga, tepatnya
mendapat anugerah siwa di siwa loka, dapat ditemui dalam empat buah purana
yaitu dalam padma purana, siwa purana,
skanda purana,dan Garuda Purana. Demikianlah sumber sansekerta yang memuat
tentang uraian siwaratri. Dalam Kekawin
siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Kekawin yang dibentuk oleh 20 wirama dan
dnegan jumlah bait 232 buah ini, di samping dengan secara indah menguraikan
kisah perjalanan si lubdaka, Bagaimana sadhana atau pencarian tersebut yang penuh dengan makna
simbol-simbol akan dibahas dalam makna filosofis Siwaratri,
juga dengan cukup mendasar menguraikan pelaksanakan upacara dan brata
siwaratri.
Dari sumber-sumber yang disebutkan diatas, pelaksanaan Brata Siwaratri diambil sehingga
dalam pelaksanaannya di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yaitu Mona, Upawasa,
Jagra. Dari sumber-sumber di atas juga akan diperoleh makna dan arti filosofis
dari Siwaratri seperti makna kata Lubdaka, tempat tinggal Lubdaka sampai arti
simbol dari Lubdaka naik pohon Bila. Pahala Brata Siwaratri yang diperoleh oleh
Lubdaka beupa Sorga Loka dan terhapus segala dosanya. Jika mengacu pada hukum
karma sungguh sulit dan tidak bisa menghapus dosa yang telah menempel pada raga
kita, karena setiap perbuatan yang kita lakukan pasti akan mendapatkan
hasilnya. Perbuatan baik tentu menghasilkan yang baik dan perbuatan buruk akan
menghasilkan yang buruk. (Rasti dkk :2004:58).
II. Pembahasan
Pengertian
siwaratri
Pada
intinya, kekawin siwaratri mengandung bersifat paradoks. Lalu melalui manggala
tersebut Mpu Tanakung mengajak pembaca karyanya untuk bersama-sama belajar
memecahkan masalah hidup. Masalah paradoks dimaksud oposisi berpasangan antara
siwa dengan ratri.
Kata siwa
menandakan hal yang dimaksud dengan “siang, kesadaran, cinta kasih, kebajikan,
kebenaran, tanpa kekerasan, kedamaian, kebahagiaan dan segala dipandang
bernilai luhur lainnya”. Bagi manusia siang adalah penuh gairah, hari penuh
aktivitas memburu tujuan, Hari yang merepresentasikan waktu manusia sadar diri.
Sementara ratri adalah kata yang menandakan hal yang dimaksud dengan
malam”kealpaan, kebencian, kekerasan, kebiadapan, dan segala yang dianggap
bernilai rendah lainnya. Malam yang gelap adalah waktu istirahat, waktu tidur.
Hari yang merepresentasikan waktu manusia lupa diri singkatnya, siwaratri
itulah kata penanda inti dilema manusia. Secara filosofis, dilema tersebut
ternyata warisan yang berasal dari asas purba semesta yang padanya secara
potensial mengandung sifat dualis.(UNHI: 2008:30-31).
Arti Filosofis Makna Siwaratri.
Seorang
pemburu bernama Lubdhaka, setiap hari mengelilingi hutan dan gunung. Hidupnya
tidak pernah susah. Ia selalu bersenang-senang dengan anak dan istrinya. Sejak
kecil ia tidak pernah berbuat kebenaran, kebajikan, perbuatannya hanya membunuh
binatang seperti rusa, badak dan gajah. Itulah yang dilakukan setiap
hari sebagai satu-satunya mata pencaharian yang dapat memenuhi kebutuhan
keluarganya.
Pada hari
keempat belas bulan ketujuh (panglong ping pat belas ke pitu), Lubdhaka berburu
seorang diri kedalam hutan memakai bajuhitam kebiruan . Perjalannya ke
dalam hutan menuju timur laut, ketika itu hujan gerimis, Ia melewati
Pura besar (dharma agung) yang keadaanya sudah rusak, namun dewanya tetap kokoh
berstahana di dalam relung pelangkiran. Oleh karena kekuatan keutamaan dari
malam Siwa (siwaratri), keadaan hutan menjadi sepi. Keadaan ini membuat
Lubdhaka berjalan sampai jauh ketengah hutan.
Karena
merasa penasaran, Lubdhaka terus menelusuri hutan selama satu hari
berputar-putar mengelilingi lereng gunung. Setelah sore ia sampai di sebuah ranu
besar yang didalamnya terdapat Siwalinggga (tidak ada yang membuat
), Perjalanan berputar-putar membuat Lubdhaka lesu, payah,haus,lapar. Karena
itu, ia beristirahat dan minum air serta mencuci muka sambil menunggu binatang
yang mungkin datang minum air.
Namun
harapan itu sia-sia, karena sampai malam tidak ada binatang yang datang minum
air. Akhirnya ia memutuskan untuk menginap di seputar ranu itu. Untuk
menghindari bahaya (dari sergapan binatang), ia memanjat pohon bilva dan
menaungi ranu dan membawa busur serta anak panahnya. Setelah larut malam ia
tidak bisa menahan kantuknya. Agar tidak tertidur, ia memetik daun pohon
maja (bila) itu satu persatu sampai fajar. Tanpa disengaja daun-daun yang
dipetiknya jatuh di dalam ranu dan semua kandas mengenai Siwalingga. Dewa Siva
yang sedang beryoga disitu sangat senang memperhatikan ketekunan
lubdhaka menyertai yoganya.
Keesokan
harinya, setelah pagi, keadaan di sekitar , mulai terang disinari matahari. Ia
berkemas-kemas pulang, setibanya dirumah dijemput oleh istri dan anak-anaknya
dengan rasa gembira. Setelah diceritrakan perjalanannya tidak mendapat buruan,
suasana berubah menjadi sedih karena mereka sedang lapar. Mungkin istri dan
Lubdhaka juga tidak tidur semalam karena menanti kedatangan ayah atau suami
yang tidak kunjung pulang.
Beberapa
tahun kemudian, Lubdhaka jatuh sakit dan kematian tidak dapat dielakan. Atmanya
melayang-layang di angkasa. Dalam keadaan demikian, Dewa Siva segera
memerintahkan abdinya (para gana) untuk menjemputnya agar dibawa ke Siwaloka.
Tindakan itu dilakukan Dewa Siva karena beliau masih ingat dengan perbuatan
lubdhaka yang sangat terpuji, yaitu melakukan brata Siwaratri pada
panglong ping pat belas sasih kepitu pada zaman kreta dahulu semasih hidupnya.
Walaupun hal
itu tidak sengaja dilakukannya, karena brata itu yang utama, dapat membersihkan
segala dosa. Berapapun banyaknya berbuat kejahatan akan dilebur oleh keutamaan
brata itu. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Lubdhaka untuk menikmati
kebahagiaan di Siwaloka. Itulah ceritra Lubdhaka yang termuat dalam Siwatari
Kalpa.
Hari Perayaan Siwaratri.
Siwaratri
yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna
(januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat
pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan symbol. Kata ratri berarti malam,
Karena itu Siwaratri berarti malam siva. Siva berarti baik
hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri
adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang.
Siwaratri
jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu (panglong ping 14 sasih
kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap
dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di
buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama
peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan
(dana), mabuk karena kepandaian (Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina),
mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk
karena kemenangan (kasuran).Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran
dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh
dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.
Sumber Ajaran Siwaratri
Dalam kepustakaan Sanskerta uraian tentang
Siwaratri, upacaranya sekaligus dengan si pemburuannya yang naik sorga,
tepatnya mendapat anugrah Siwa di Siwa Loka, dapt ditemui di empat buah Purana
yaitu : Padma Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Garuda Purana. Uraian yang
terdapat dalam bagian Kedarakanda dari Maheswarakanda dalam Skanda Purana
antara lain memuat percakapan antara Lomasa dengan para Rsi. Lomasa
menceritakan kepada para Rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala
mahluk, sampai membunuh para Brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati
apa yang disebut “ Kebenaran”. Dalam purana ini diuraikan pula tentang asal
mula upacara siwaratri tersebut.
Bagian Acarakanda dari Purwakanda dalam Garuda
purana memuat uraian singkat tentang siwaratri. Diceritakan bahwa suatu ketika
Parwati bertanya kepada Siwa tentang pelaksanaan brata yang terpenting. Dalam
menjawab pertanyaan itulah Siwa menguraiankan tentang brata pelaksanaan
Siwaratri.
Dalam bagian tersebut dikisahkan seorang raja dari
Para Nisada yang bernama Sundarasena. Sundarasena membawa anjingnya untuk
berburu kedalam hutan. Akan tetapi dalam perburuannya itu ia tidak mendapatkan
satupun binatang buruan. Maka tampaklah pemandangan dimana binatang kesayangan
dan tuannya lapar dan haus. Mereka tidak makan dan minum. Di tengah hutan
mereka menjumpai Siwalinggam tepat dibawah pohon Bila. Ketika ia memasuki
semak-semak daun pohon bila berjatuhan dan menimpa Siwalinggam dan secara tidak
sengaja sebuah anak panah jatuh dari tangan Sundarasena dan ketika ia berusaha
untuk mengambil benda itu, tangannya menyentuh linggam. Sundarasena kemudian
kembali tanpa membawa binatang buruan. Seiring dengan berjalannya waktu, maka
ia meninggal dunia, saat itu datanglah utusan Dewa Yamaa untuk membawanya ke
neraka. Akan tetapi para pengawal dewa Siwa tidak mengijinkan roh Sundarasena
dibawa ke neraka. Nisada ini telah berdoa kepada Siwa pada hari Siwaratri meski
itu dilakukannya secara tidak sengaja. Sundarasena dan anjingnya dibawa kepada
Dewa Siwa dan tinggal di alam itu dengan bahagia.
Bagian Jnanasamhita dari Siwa Purana yang memuat
percakapan antara para Suta dan para Rsi menguraikan pula pentingnya dan
jalannya upacara Siwaratri. Uraian tersebut disertai oleh kisah Si orang kejam
bernama Rurudruha yang setelah melakukan brata Siwaratri akhirnya menjadi sadar
akan kekejaman dan kedangkalan pikirannya.
Sumber Sansekrta yang paling dekat dengan kakawin
Siwaratri Kalpa (Kakawin Lubdhaka ) sebuah kakawin yang banyak dikenal di Bali
adalah bagian Uttarakanda dari Padma Purana. Didalamnya termuat percakapan
antara raja Dilipa bahwa Siwaratri tersebut adalah brata yang sangat utama yang
jatuh antara bulan Magha dan Palguna. Apabila dalam kakawin si pemburu bernama
Lubdhaka, maka dalam Padma Purana ini memakai nisada (kadang-kadang disebut
pulinda atau sabhara). Dalam Padma Purana kata Lubdhaka bermakna “ Pemburu” :
Tisthad yawad astan gato rawih ;tasya
gandham samasadhya lubdakasya waranane. Berkat brata Siwaratri yang
dilakukannya akhirnya ia pun berhasil diterima oleh Bharata Siwa di Siwa Loka.
Demikianlah sumber Sansekrta yang memuat uraian
Siwaratri. Sudah pula kita tunjukan bahwa dalam kepustakaan Jawa Kuna kita
mengenal kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Kakawin yang dibentuk oleh
20 wirama dan dengan jumlah bait 232 buah ini disamping dengan secara indah
menguraiakan perjalanan si Lubdhaka, juga dengan cukup mendasar menguraiakan
pelaksaan upacara dan brata Siwaratri.
Apabila kita mengetahui bahwa Padma Purana adalah
sebuah teks didaktik tanpa sebuah sebuah pretensi estetis, sedangkan
Siwaratrikalpa adalah teks didaktik yang mempubyai pretensi estetis, maka dapat
kita ketahui bahwa Mpu Tanakung mengharapkan supaya karya sastra yang
ditulisnya lebih menarik dan menyebar. Dalam arti pula bahwa Mpu Tanakung
memakai metode estetik dalam menyebarkan ajaran agama, yaitu dengan
memanfaatkan media sastra (kakawin) yang
digemari oleh masyarakat. Karya Mpu Tanakung yang satu ini oleh peneliti
sastra dianggap sebagai karya “ Trobosan”, karena karya sastra ini adalah
satu-satunya kakawin yang menjadi manusia biasa (malah manusia papa) sebagai
tokoh utamanya, dan karya sastra ini berhasil hadir dalam suatu kegiatan
keagamaan.
Mpu Tanakung memang dikenal sebagai seorang kawi
yang produktif dan kreatif. Disamping kakawin Siwaratrikalpa, pengarang ini
juga mewariskan karya-karya kakawin Wreta sancaya, Bhasa sadana yoga, Bhasa
mretamasa, Bhasa sangutangis, Bhasa Kinalisan,Bhasa Tanakung, Bhasa
Gumiringsing, Bhanawa Sekar, Puja Smara, Patibrata. Lewat studi terhadap
beberapa kakawin tersebut menunjukkan bahwa Mpu Tanakung telah menyuratkan dan
menyiratkan tentang konfensi sastra dan konfensi budaya kakawin, yang paling
menarik adalah gambaran yang diberi tentang filsafat keindahan yang dianut oleh
para Kawi samapai pada cita-cita hidup yang Kawi.
Sumber lain yang terdapat dalam kepustakaan Bali
adalah lontar Lubdhaka Carita (milik Faksas unud no 774 ) dan Lubdhaka gending
no 705 sedangkan dalam lontar Aji Brata (milik gedong Kirtya Singaraja no
IIIb.1875/7) kita dapat baca secara cukup terperinci tentang pelaksanaan brata
Siwaratri tersebut.
Pada bagian Santi Parwa yang tedapat pada Mahabrata,
Bisma sementara berada dipembaringan anak-anak panahnya dan membahas tentang masalah
Dharma, megacu pada perayaan Maha Siwaratri oleh raja Citrabhanu.
Tata Cara Brata
Siwaratri Menurut Lontar Kakawin Siwaratri Kalpa
Berikut
Kekawin Siwaratri dapat memberikan penjelsan yentang brata beserta
pelaksanaan upacara Siwaratri tersebut:
Ring enjing i huwus ning anggelaranusmara datenga
ring guru greha/
Manembaha jugawitanglekasaken brata suhunana pada
sang guru/
Ri sampun ika madyus asisiga mang
gelarakena Sivanarcana/
Teher duluranopawasa saha mona manigasana sudha
kangsuga//
37.1
Ri sampun
telas nikang rahina ring wengi niyata matanghya tan mrema/
Bhatara Sivalingga kewala sirarcanan i dalem ikang
suralaya/
Kumara nguniweh Gajendrawadana ng ruhhunnana sira
kapwa pujane/
Rikang rajani yama pat gelarana kramanira manutang sakabwatan//
37.2
Menur kenyeri
gambir arja kacubung saha waduri putih lawan putat/
Asoka saha nagapuspa
hana tangguli bakula kala
macampaka/
Makadi semining majarja sulasih panekara ning
angarcana sira//
37.3
Lawan sahananing gandha pakadhupa saha ghreta sudipa
ring kulem/
Ikang caru bubur pehan saha bubbur gula liwet acarub
hatak wilis/
Yateka pinakadining caru yadin dulurana phala
matsyaka/
Samangkana ketang kramolahakenang sawengi saka
sayana tan lupa//
37.4
Mredangga saha onyan-unyan asameni kapalimur arip
ing mata/
Yadin mangucapang
kidung rumasanang kakawinn apasang arja len nita/
Sabhagya keta yan weruh angucapaken Sabharakatana
ring samangkana/
Awas katemu tang padadhika tekap akathana
Lunbdhakatmaka//
37.5
Ring moksa nikanang kulem ri tekanang rahina masunga
dana ring sabha/
Suwarna Sivalingga dana ri Mahadwija parama susila
wedawit/
Asing lwir nikang dateng sungna dana sukawasa hayo
juga tulak/
Teher kaluputeng turu ri rahinannya sagawaya hayo
kurang tutur//
37.6
1. Pagi
hari sesudah siap menyatukan pikiran yang berkepentingan patut menghadap sang
pendeta/
Bersujud
dan memaklumkan untuk melaksanakan “brata” dengan mematuhi petunjuknya/
Sesudah
mandi dan berlansir lalu melakukan pemujaan kehadapan Hyang Siva/
Dilanjutkan
dengan Puasa dan “ monobrata ” serta mengenakan pakaian putih//
2. Setelah
siang hari berlalu pada malam harinya melek jangan sekali-kali tidur/
Setelah
memuja Hyang Siwa dalam perwujudan “sivalingga” yang bersemayam di alam siva/
Didahuluhi
dengan memuja Hyang Gana dan Hyang Kumara/
Pada
malam harnya “yamapat” yang disesuaikan menurut batas kemampuan//
3. Bunga
menur, kanyeri,gambir,kacubung,waduri putih dan putat/
Asoka
nagaari tangguli bakula kalak dan cempaka/
Seroja
meah putih biru dan segala sejenis bunga
yang harus disiapkan pada saat itu/
Utamanya
pucuk muda daun bila dan bunga sulasih sebagai sarana untuk memujaku ( Hyang
Siva)//
4. Segala
wangi-wangian dupa susu dan lampu disiapkan pada malam hari itu/
Dengan
sajen bubur dicampur susu dan bubur kacang hijau dicampur gula merah/
Itulah
antara lain jenis sesajen dilengkapi dengannbuah-buahan nasi dan lauk pauk/
Hal
itu patut dilaksanakan semalam suntuk dan jangan lupa memusatkan pikiran//
5. Gong
dan bunnyi-bunyian sebagai penghibur untuk manghalaukantuk/
Dapat
juga dengan membaca “kidung” dan membaca lontar kekawin atau olah rasa dan pikiran kecuali judi/
Syukur
bila dapat membaca dan menghayati kisah si Lubdhaka pada saat itu/
Pada
akan menemukan sorga bagi orang yang membaca cerita Lubdhaka//
6. Ketika
malam sudah berlalu dan menjelang pagi hari patut memberikan dana punia pada
tempat tertentu/
“Siwalingga”
dar emas dipersembahkan kepada Sang Pendeta Utama/
Setiap
orang yang datang patut diberikan “ dana punia “ sesuai dengan kemampuan dan
jangan sekali ditolak/
Dilanjutkan
dengan tidak tidur pada siang harinya dan jangan bekerja tanpa kesadaran//
Petikan panjang yang dicantumkan disina diharapkan
telah dapat memberikan kejelasan tentang pelaksanaan brata serta upacara
Siwaratri. Mona, Upawasa dan Jagra adalah tiga brata yang semestinya dilakukan
pada hari suci Siwaratri. Jagra dilakukan selama 36 jam, mulai dari pagi hari
pada panglong ke 14 sampai pada senja hari panglong ke 15 ( tilem ) kepitu,
sedangkan monad an upawasa dilakukan 24 jam, mulai pagi hari panglong ke 14
sampai pada pagi hari panglong 15 (tilem). Disamping melakukan brata, melakukan
pemujaan kepada Siva, Gana dan Kumara adalah kegiatan yang Utama. Empu Tanakung
tidak saja menekankan hal-hal tersebut tetapi pada pelaksaan dana punya yang
semestinya dilakkan pula.
Secara tersirat Empu Tanakung
menyatakan pula bahwa brata Siwaratri tidak mesti dilakukan dengan paksa,
artinya perlu diadakan tahapan (tingkatan) dalam pelaksanaaan brata tersebut.
Karenanya pada malam panglong ke 14 itu dianjurkan untuk membaca kekawin,
kidung, mengadakn pertunjukan kesenian dan yang penting membaca atau
menceritakan kisah si pemburu,si Lubdhaka. Bagi yang melaksanakan pembaca
kekawin,kidung pertunjukan kesenian maka mona brata hanya dilaksanakan 12jam yaitu
mulai pikul 06.00 s/d 18.00.
Lontar Aji Brata juga membuat brata
dn puja serta upakara menekankan pemakaian daun maja dalam upacara Siwaratri
seperti berikut : Inilah tata cara melaksanakan brata siwaatri. Sarana yang
digunakan; Sanggar tawang 4 dandanan, catur, banten gana, banten sumur, banten
palingghan semuanya satu dandanan. Bubur pehan, bubur gula dicampur kacang ijo.
Lengkapi dengan suci, harum-haruman, dupa, pula gembal, sesayut beserta peras,
lis, gelar sanga. Simbol Bhatara pergunakan Lingga Emas sebagai alas dari
Lingga adalah daun pisang susu, dirajah padmasana dibawah diatasnya padma
anglayang , itu yang paling utama, jangan lup caniga, daun cemara, daun swaha,
serta berbagai bunga dan parijata dan daun kalewi, utamanya adalah caniga, daun
yang menengah. Lakukan kesaksian3 kali sampai pagi hari.pertama sore hari,
kedua malam hari dan ketiga menjelang pagi (brahmamuhurta).pada saat pemujaan
disertai dengan tepung tawar,segau,setelah pemujaan siwaratri dilanjutkan
dengan mohon tirtha. Setelah selesai pemujaan dan mohon tirtha ambillah daun
maja, buang ke kumba yang tlah berisi air,bayangkan daun maja terjatuh pada
padmasana yang berada ditengah lautan, mohon saksi pada Sanghyang Siwaraditya,
dan Sanghyang Pradana, Purusa serta Sanghyang Trayodasa Saksi juga pada
Sanghyang Jagatnata dan Sanghyang Prajapati. Disamping daun maja sejumlah 108
juga bunga yang bagus digunakan adalah menur, kenyeri, bambir, kecubung,
widuuri putih, putat, angsoka, tangguli, tanjubg, kalak, cempaka, tunjung biru,
tunjung bang, tunjung putih, sulasih mrik, tidak ketinggalan rumput dreman.
(Ajibrata lempir 22)
Lagi pemujaan pertama pada pagi
harinya,mohon disanggar surya dan rumah guru,kwangen dilengkapi dengan sesari
uang 2 kepeng. Selesai memuja dilanjutkan dengan monad an upawasa. Sore hri
kembali melaksanakan puja ditujukan kepadanSanghyang Surya, Iswara, Wisnu,
Brahma, Siwa, Sumur, Gana. Puja pada malam hari ditujukan kepada Surya, Iswara, Wisnu, Brahma, Siwa, Kumara. Kwangen
yang dipakai saranan puja diisi dengan daun maja serta ang 11 kepeng.
Nilai-Nilai
Yang Terkandung Dalam Hari Raya
Siwaratri
Brata Siwaratri mencakup tiga hal, yaitu : jaga, upawasa,mona. Ketiga brata
tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :
a.
Jagra
berarti tidak tidur, berjaga, dan bangkit. Istilah lain dari jagra adalah atanghi dan atutur. Untuk memahami istilah-istilah tersebut perlu dipahami
ajaran Siwa tentang Jagra. Menurut
Wrehaspati Tattwa, alam semesta dan manusia dibentuk oleh Cetana (sumber kesadaran) dan Acetana
(sumber ketidaksadaran). Hal senada juga disampaikan dalam ajaran Samkhya
dengan istilah Purusha dan Predana. Akibat dibentuk oleh unsur Cetana dan Acetana, atau Purusha dan
Predana, menyebabkan manusia hidup
dalam ayunan alam sadar dan ketidaksadaran.
Orang-orang yang berprilaku semata-mata untuk
memenuhi tuntunan keinginan (raga)
disebut sebagai orang yang sedang tidur (turu).
Orang yang senantiasa tidur (tidak sadar) disebut sebagai orang yang papa, yang
secara spiritual tidak ada bedanya dengan mayat (sawa). Untuk membebaskan diri dari papa, Bhatara Iswara dalam
Wrehaspati Tattwa Bersabda “ yan matutur
ikang atma ri jatinya. “ artinya, jika Atma memahami akan jati dirinya.
dengan demikian hakekat melek (jagra)
dalam brata Siwaratri adalah
kesadaran akan diri.
Setiap orang mesti menyadari bahwa dirinya bisa
khilap karena alam pikirannya diselimuti oleh kegelapan (awidya). Pada saat kegelapan menyelimuti pikirannya, yang dikenal
sebagai Peteng Pitu (sapta timira) dan di bhuwana agung
dilambangkan sebagai gelapnya Purwanining
Tilem Kepitu, maka manusia harus mendekatkan diri dengan sumber sinar (dewa), khususnya sinar yang mampu
melebur kegelapan pikiran terebut yaitu Siwa.
b. Upawasa
tidak hanya berarti tidak makan, tetapi yang lebih penting adalah mengendalikan
diri akan makanan dan minuman (aharalagawa)
berkaitan dengan karateristik dan kesucian. Bhagawadgita memaparkan bahwa
prilaku ditentukan oleh pikiran, dan pikiran dipengaruhi oleh makanan yang
dikonsumsi. Atas dasar itu, kita harus berhati-hati agar mendapatkan makanan
yang sattwik sesuai dengan cara untuk
mendapatkannya, kandungan kimia dan nilai gizinya, proses pembuatan, dan
kesuciannya. Makanan yang diperoleh dengan cara tidak benar, mengandung racun,
bahannya tidak sattwik, proses
pembuatannya tidak mempertimbangkan aspek kesucian, tidak ada persembahan
kepada Brahman, semua itu tidak layak dikonsumsi. Itulah makanan (bhoga) yang akan menjadi penyakit (roga) di dalam diri.
Upawasa menyangkut segala macam upaya untuk
mendekatkan diri dan menyatu dengan Brahman (upa = dekat, wasa =
penguasa). Upaya penyatuan dengan Brahman dapat dilakukan dengan membunuh sifat-sifat
kebinatangan yang ada dalam diri, dilambangkan dengan Lubdaka (pemburu) yang
senantiasa membunuh binatang-binatang buruan. Menundukan keinginan diri,
sebagai musuh utama dalam diri, adalah prasyarat keberhasilan upawasa. Lubdaka dengan bersenjatakan
panah (manah = Pikiran) memburu binatang-binatang besar seperti gajah, babi
hutan, macan. Gajah (asti) merupakan
lambang astiti bhakti, babi hutan (waraha) akronim waranugraha, dan macan (wiagra)
merupakan puncak utama perjumpaan astiti bhakti seorang bhkta dan waranugraha
Siwa. Jika dilihat dari suara huruf awalnya, dalam rangkaian kata astiti, waraha, macan, maka akan kita
temukan kata AUM sebagai aksara suci Brahman. Pustaka suci Weda menyebutkan “ Aum iti ewam dhyayathamanam, swasti wah paraya tamasah parastat”. Artinya,
dengan bermeditasi kepada Atman swbagai AUM (OM) dan berbahagia, engkau akan
menyebrangi kegelapan (Mundaka Upanisad II.2.6). meditasi kehadapan
Dewa Siwa dilambangkan dengan aktivitas Lubdaka memetik daun Bila dan
dilemparkan ke bawah mengenai Lingga Siwa.
c.
Mona
tidak hanya bermakna tidak berbicara, tetapi yang lebih penting adalah
berbicara dengan kesadaran diri. Jika upawasa berkaitan dengan yang masuk, maka
mona berhubungan dengan yang keluar. Orang-orang yang menyadari akan hakekat
sang diri pasti akan melakukan kontrol secara ketat berkaitan dengan kedua hal
itu. Pustaka suci Weda menyebut mona sebagai salah satu bentuk tapa, sebagai langkah awal penyatuan
diri dengan Brahman (Bhagawadgita XVII :
15). Selanjutnya, dalam kaitannya dengan hidup bermasyarakat, kekawin Nisastra V. 3 menyebutkan dengan
berbicara seseorang bisa mendapatkan kebahagian (lakshmi), kematian (pati), kesusahan (dukha), sahabat (mitra).
Para orang bijak menyampaikan rambu-rambu berbicara
dalam rumusan “ satyam wada, dharmam cara”
yang artinya katakana kebenaran dengan cara yang bajik dan bijak. “
sastra putam waded wakyas bhusayate dhanam,” yang artinya sesuaikan dulu
dengan sastra suci barulah anda berbicara.
“ priyamapyahitam na waktawyam, “ yang artinya jangan
mengucapkan kata-kata manis dan menarik, tetapi tidak mengandung kebaikan dan
kebenaran. Demikianlah petunjuka para orang bijak berkaitan dengan berbicara.
(Rasti dkk, 2004 : 30-33).
Manfaat Puasa
Pada jaman sekarang banyak orang yang berpendidikan
tidak melakukan puasa pada hari yang suci ini. Ini karena pengaruh dari
kekuatan gelap, kejam dan materialistic. Ketika kecerdasan sedikit berkembang,
orang-orang mulai berargumen dan melakukan
diskusi yang tidak penting. Kecerdasan sudah menjauhkan mereka dari
jalan spiritual. Mereka yang belum mengembangkan hati tetapi telah
mengembangkan kecerdasannya, mulai ragu-ragu dan bertanya dalam setiap
langkahnya. Mereka menjadi salah jalan. Mereka menginginkan jawaban “ mengapa “ dan “ bagaimana” untuk hal apapun. Mereka menginginkan penjelasan yang
ilmiah untuk semua hal yang terjadi.
Hendaknya sekarang mulai sadar untuk menuntun
dirinya dalam pengendalian mencapai keseimbangan. Berbicara mengenai
pengendalian puasa merupakan sebuah sadhana dalam mengendalikan nafsu. Puasa
juga memeriksa kesetabilan emosi dan mampu mengendalikan indra-indra. Puasa
merukan jalan penebusan dosa yang hebat, disamping itu dengan puasa dapat
mengendalikan lidah yang merupakan musuh manusia yang paling mematikan. Puasa
dapat membersihkan system pernapasan, peredaran darah, pencernaan dan system
urin. Seperti emas yang dimurnikan dengan melelehkannya berulang-ulang, begitu
pula pikiran kotor dapat dijernihkan dengan melaksanakan puasa.
Puasa merupakan salah satu bagian dari 10 prinsip
utama yoga. Bagaimana pun hindarilah puasa yang berlebihan, karena hal ini akan
menyebabkan kelemahan. Jika kita tidak dapat berpuasa sehari 24 jam,
berpuasalah 10-12 jam dan makanlah buah dan minum susu. Perlahan-lahan
tingkatkan puasa kalian menjdi 15 jam dan kemudian 24 jam. Berpuasa membuat
orang kuat, baik secara mental dan spiritual.
Pada prinsipnya pelaksanaan puasa ini tidak hanya
dianjurkan pada saat pelaksanaan Siwaratri, namun dibutuhkan pelaksanaan yang
rutin dan terarah. Disamping puasa ini berguna sebagai sadhana mendekatkan diri
kepada Tuhan juga sangat bermanfaat menjaga kesehatan tubuh dan memelihara
keseimbangan organ tubuh. (Rasti dkk, 2004 : 47-49)
Makna Kata Lubdhaka.
Kata
Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah
diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata
Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa
artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat. Dengan demikian
Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang
mulia.
Tempat Tinggal Lubdhaka.
Lubdaka
dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . gunung didalam bahasa
sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa
dikisahkan Betara siwa dipuja di puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal
Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan
tekun memuja siwa (Siwa Lingga) atau yang sering disebut seorang Yogi
Alat Perburuan dan binatang Buruan.
Alat
bebrburu si Lubdhaka adalah panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata
pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti
ia mengendalikan indrianya ( melupakan bekal makanan) Binatang yang diburu oleh
Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah
berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak
bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha.
Selanjutnya terdapat simbol harimau (wiagra). Wiagra berasal dari kata wi
(utama) dan agra (puncak). Dengan demikian wiagra mengandung makna puncak
utama. Puncak utama dalam kaitan pelaksanaan yoga adalah samadhi. Samadhi
berarti berkumpul atau kontak dengan Yang Mulia.
Mereka yang
telah mencapai tingkat samadhi, segala papa nerakanya akan terbakar oleh api
gaib yang timbul dari kematangan yoganya. Karena papa merupakan pahala dari
dosa, maka berarti pula terleburnya dosa yang telah diperbuatnya. Anugrah yang diterima sang yogi sebagai anugrah yang
diterima si Lubdhaka dari Dewa Siwa adalah manunggalnya atma dengan Paramatman.
Sebagaimana sabda Dewa Siwa, “kantenanya tanera bheda awakta lawan iki
sariraninghulun. “Artinya tiada bedanya dirimu dengan diri-Ku. Selain itu dari
Wrehaspati tattwa disebutkan bahwa seorang yogiswara yang tentu telah mencapai
kesadaran diri disebut sebagai seorang pawak Bhatara dan memiliki sifat-sifat
Asta Iswarya. Selain itu dalam kesehariannya dia akan menampakkan sifat yang
sesuai dengan kata samadhi tersebut, sama berarti sama dan dhi berarti berpikir.
Jadi samadhi
berarti berpikir sama atau seimbang. Pikirannya tetap seimbang atau sama disaat
menemukan kebahagian dan juga disaat menderita. Dengan demikian binatang buruan
tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh
budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh
astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa
( Siwa).
Berangkat berburu pada panglong ping 14.
Hari ke 14 paro
terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini
adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan
memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta
timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi
pada pang long ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya
masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala
tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.
Pagi hari memakai pakaian hitam
kebiruan.
Hitam adalah lambang keberanian,
keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik
untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.
Berjalan sendirian.
Pemberani.
Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut yang
berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut
nirwrwti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna
berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak
berbicara”.
Menuju arah timur laut.
Menuju
kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap,
hitam,dengan kiblat timur symbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik
paham sakti dengan paham Siwa.
Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .
Simbolik dari merosotnya situasi
politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.
Tidak
seekor binatangpun didapatkan.
Binatang symbol “ ego” sifat binatang
itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah
berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.
Tidak terasa senjapun tiba.
Symbol dari
daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu
yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam
konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat
itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap
yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa
harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.
Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang
Pohonya Symbol dari
meningkatnya kesadaran dengan jalan meditasi untuk memurnikan pikiran agar daya
budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di
dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan
yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya
keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik
keatas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang
pertapa.
Ranu atau danau
Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi,
saktinya siwa adalah lambang kesuburan.
Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada ditengah
danau. Batu tersebut yang dikenal dengan nama Lingga. Lingga adalah symbol Siwa
Memetik daun bilwa.
Memetik
ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti
tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan.
Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang
pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam
hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran
hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu
tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat
kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang
brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata
gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta
dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi),
menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa ( menyebut nama Tuhan
berkali-kali),
Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).
Kenyataan umum setiap orang berburu
pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang
dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.
Tiba di pondok Lubdaka baru makan.
Perjalanan
berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap.
Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak makan, minum selama 36 jam, yakni
dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja
kala hari ke 15 tilem.
Hubungan Siwaratri
Dengan Karmaphala
Dalam ajaran beberapa
agama, meyakini bahwa dosa dapat ditebus. Melalui upacara penebusan dosa atau
melalui pengucapan kalimat tertentu maka dosa penganutnya akan tertebus atau
dengan kata lain akan hilang atau terhapus. Memang kita akui tentang
keberagaman pendapat yang muncul dikalangan umat hindu tentang makna Sivaratri,
antara lain siwaratri sebagai perimbangan dosa untuk itu disini akan
diungkapkan dapat atau tidaknya dosa seseorang dihapus melalui sivaratri.
Jika ditinjau dari ajaran hukum
karmaphala, maka dosa itu tidak dapat dihapus atau dilebur begitu saja oleh
suatu perbuatan baik. Karena apapun perbuatan seseorang pasti akan mendapatkan
phala atau hasilnya. Sudah tentu perbuatan baik akan menghasilkan yang baik dan
yang buruk akan menghasilkan perbuatan buruk. Sekecil apapun perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang pasti akan menikmati hasilnya, entah pada saat ia
masih hidup atau setelah mati atau setelah menjelma kemudian. Dosa itu ibarat setetes tinta dalam gelas.
Perbuatan baik ibarat air putih zyang bersih, semakin banyak air putih yang
bersih dituangkan dalam gelas tadi noda tintanya akan semakin tidak terlihat,
namun bukan berarti setetes tinta disana menjadi hilang, tetapi noda tinta tadi
seamakin tidak terlihatan.
Dalam uraian di atas dapat diartikan bahwa dosa
seseorang tidak dapat dilebur atau dihapus dengan brata Siwaratri, tetapi hanya
dapt diimbangi. Jika pengimbanngan dengan perbuatan baik semakin besar maka
dosa semakin tak tampak. Dalam beberapa sumber menyatakan bahwa dosa dapat
dilebur melalui yoga, sebagaimana yang tercantum dalam Wrehaspati tattwa
sebagai berikut : “sakwehning papa san yogiswara lawan ikang wasana kabeh ya
tika tininum de Bhatara ring Sivagni ri wuwusnia hilang ikang karmawasana”
artinya : semua paap Yogiswara dan semua bekas-bekas karma akan terbakar oleh
Sivagni, sesudahnya karma wasana akan hancur.
“Yapwan tiksna samadhi nira Sang Yogiswara geseng
pwekang tattwa I sorning pradhana tattwa katekaning triguna tattwa” artinya : apabila samadhi Sang Yogiswara
mencapai puncak, maka terbakarlah pradana tattwa sampai pada triguna tattwa.
Jika menyimak bunyi kutipan Wrehaspati tattwa tersebut diatas maka secara tegas
dapat diartikan bahwa dosa seseorang akan dapat lebur melalui yoga. Dengan
demikian setiap orang yang mampu melaksanakan tapa, yoga, samadhi pada saat
Siwaratri dosanya akan dapat dilebur atau dihapus. Mampu atau tidaknya
seseorang melakukan tapa, yoga samadhi sehingga mencapai puncak, hanya Hyang
Widhi dapat menilai. (Rasti dkk, 2004 : 57-60).
III. PENUTUP
Hari suci siwaratri datang setahun sekali pada hari
ke 14 paruh gelap bulan ke 7 (panglon ping 14 sasih kepitu) sekitar bulan
januari sampai februari. Siwaratri merupakan hari yang baik dan tepat untuk
melaksanakan brata yaitu jagra, upawasa, mona brata kepada Sang Hyang siwa
sebagai perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan tujuan untuk dapat
meningkatkan kesadaran bathin, kelancaran dalam menapak kehidupan sehari-hari
dan spiritual. Lubdhaka berhasil mencapai alam siwa stelah melaksanakan bharata
siwaratri secara tidak sengaja, tetapi banyak kalangan kita yang meragukan keberhasilan tersebut. Dalam
melaksanakan siwaratri tentunya melakukan suatu puasa. Puasa artinya mampu
mengendalikan nafsu. Puasa juga memeriksa kestabilan emosi. Siwaratri memiliki
4 sumber ajaran yaitu Padma Purana, Siva Purana, Skanda Purana dan Garuda
Purana. Jika ditinjau dari hukum karmaphala, maka dosa itu tidak dapat dihapus
atau dilebur begitu saja oleh suatu perbuatan yang baik. Karena apapun
perbuatan seseorang pasti akan mendapatkan phala atau hasilnya. Sekecil
apapun perbuatan seseorang pasti akan
menikamati hasilnya, entah pada saat ia masih hidup atau setelah dia mati atau
setelah menjelma kemudian.
Dalam beberapa sumber bahwa dosa dapat dilebur
melalui yoga, sebagai mana yang tercantum dalam Wrehaspati Tattwa sebagai
berikut : “sakwehning papa san yogiswara lawan ikang wasana kabeh ya tika
tininum de Bhatara ring Sivagni ri wuwusnia hilang ikang karmawasana” artinya :
semua paap Yogiswara dan semua bekas-bekas karma akan terbakar oleh Sivagni,
sesudahnya karma wasana akan hancur.
“Yapwan tiksna samadhi nira Sang Yogiswara geseng
pwekang tattwa I sorning pradhana tattwa katekaning triguna tattwa” artinya : apabila samadhi Sang Yogiswara
mencapai puncak, maka terbakarlah pradana tattwa sampai pada triguna tattwa.
Jika menyimak bunyi kutipan Wrehaspati tattwa tersebut diatas maka secara tegas
dapat diartikan bahwa dosa seseorang akan dapat lebur melalui yoga. Dengan
demikian setiap orang yang mampu melaksanakan tapa, yoga, samadhi pada saat
Siwaratri dosanya akan dapat dilebur atau dihapus. Mampu atau tidaknya
seseorang melakukan tapa, yoga samadhi sehingga mencapai puncak, hanya Hyang
Widhi dapat menilai.
DAFTAR
PUSTAKA
Agastia
IBG.1997.Memahami Makna Siwaratri. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
Fakultas
Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia.2008. Denpasar : Widya Dharma.
Rasti
Ni Wayan,dkk. 2004. Siwaratri Tinjauan Sosio Religius dan Filososfis. Surabaya
: Paramita.
Om swastyastu mw tanya apa ada punya bukunya ?? Yg di daftar pustaka??
BalasHapus