Kamis, 16 Januari 2014

HUKUM HINDU DAN HUKUM ADAT



Hubungan Hukum Hindu Dan Hukum Adat
(oleh : komang sudiasa)
Hukum hindu adalah hukum agama dalam arti yang sebenar-benarnya. Sebagai hukum agama, hukum hindu disamakan dalam arti yang sebenar-benarnya. Sebagai hukum agama, hukum hindu disamakan pengertiannya dengan dharma yang bersumber pada Rta. Agama itu sendiri juga merupakan norma atau kaidah-kaidah moral yang bersumber langsung dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini tampak ada usaha untuk mengkaitkan nilai-nilai agama dengan praktek kehidupan, apakah misalnya nilai agama itu telah ditranformasikan kedalan norma-norma sosial yang mengatur kehidupan manusia dia dalam masyarakat.
Hubungan yang demikian tidak terlalu sulit mencari,karena agama hindu memper-lihatkan gejala yang multikomplek sebagai pandangan hidup yang menyeluruh dan terpadu. John L. Esposito ketika memberi kata pendahuluan pada buku” Agama dan Perubahan Sosiopolitik”, hanya melihat hubungaan agama pada dua dimensi, yakni dikatakan : agama mempunyai suatu hubungan yang integral dan organik dengan politik dan masyarakat.
Mengacu pada tujuan hidup manusia menurut pandangan agama hindu , yaitu Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma, maka sebenarnya tradisi Hindu menwarkan suatu system normative dimana agama adalah integral dengan semua aspek kehidupan umat manusia, baik politik, sosial, ekonomi, hukum, prndidikan, keluarga dan lain sebagainya. Keseluruhan aspek kehidupan tersebut tercangkup dalam pengertian “kekinian” dan “keakanan” yang bersifat kesurgaan. (“kekinian dan “keakanan” dipinjam dari istilah Soedjatmoko, 1979:25).
Pada gejala umum yang terjadi di Bali yakni keterkaitan agama dengan adat, adalah bukti adanya pertautan agama dengan salah satu aspek kehidupan manusia. Tjokorde Raka Dherana mengatakan, agama dan adat terjalin erat satu dengan yang lainnya, saling pengaruh-mempengaruhi. Karenanya pelaksanaan agama disesuaiakan dengan keadaan tempat yang telah dan sedang berlaku. Penyesuaian yang mana bersifat. Membenarkan dan memperkuat adat setempat sehingga menjdaikan kemudian suatu “adat Agama” yaitu suatu penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan adat setempat. (Dherana, 1984:18).
Pembuktian adanya pengaruh hukum hindu menjiwai hukum adat telah terbutki sejak berdirinya kerajaan hindu di Indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja ketika membahas dimulainya pertumbuhan hukum hindu. Pudja mengatakan, bagian-bagian dari ajaran-ajaran dan pasal-pasal dalam Dharmasastra telah dioper dan dipergunakan sebagai hukum pada masa kerjaan Hindu di Indonesia. Bahkan pada bukann masa kerajaan Hindu saja , kaarena secara tidak disadari bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan berpengaruh pula dalam hukum positif di indonesia melalui bentuk-bentuk hukum adat. Bentuk acara Hukum dan kehidupan hukum hindu yang paling nyata terasa sangat berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan lombok, sebagai hukum yang berlaku hanya bagi golongan Hindu semata-mata (pudja, 1977:34).
Dalam berbagai penelitian dan penulisan Hukum Adat , baik dalam bidang hukum pidana, dalam bidang hukum perdata terutama hukum waris, hukum kekeluragaan dan perkawinan yang dikatak hukum adat, semuanya ternyata hukum hindu. Baik pengertian, istilah-istilah yang dipakai maupun dasar filosofinya delapan belas titel hukum atau astadasa wyawahara, pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidanaadat seperti brahmahatia, wakparusia, sahasa dan sebaginya. Smuanya merupakan hukum agama, ini berarti hukum Adat sebagian besar adalah hukum agama. Ini berarti hukum adat itu sebagian besar adalah hukum agama hindu (Pudja, 1997:34-35).
. Dalam prakteknya di tengah masyarakat memang tampak gejala yang bertaut menaut Hukum Hindu dengan Hukum Adat. Kitab-kitab Huku Hindu dalam bentuk kompilasi seperti Adigama, Agama, Kutaragama, Purwadigama dan Kutara Manawa, memang amat sering diajdikan sumber penyusunan Hukum Adat. Hanya transper ke dalam Hukum Adat tidak di lakukan sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum Hindu tersebut seseuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Disini para tetua adat sangaat berperan sebagai tokoh yang menyaring nilai-nilai hukum hindu untuk disenafaskan kebutuhan sesuai dengan system sosial yang berkembang
Hukum adat menduduki orbit yang sentral dan telah berperan dominan dalam suatu lingkungan budaya tertentu, yakni lingkungan masyarakat adat yang mendukungknya. Konsekwensi dari peran yang ominan itu menjadikan hukum Adat semakin mengakar dan melembaga dalam interaksi sosial masyarakatnya, dalam arti bahwa kepatuhan masyarakat terhadap Hukum Adat tersebut dapat dibantahkan.
Konsekuensi lainnya adalah membawa akibat yang sangat fatal, dimana mulai muncul tokoh-tokoh hukum adat yang tidak lagi menerima anggapan bahwa hukum adat bersumber kepada hukum hindu. Mengemukakkan hasil penelitiannya, Gde Pudja lebih jauh mengemukakan, “Hukum Hindulah yang merupakan sumber dasar dari Adat di indonesia terutama di daerah-daerah dimana pengaruh Hindu itu sangat besar. Untuk daerah Bali dan    Lombok, pembuktian itu tidaklah begitu sulit, karena seluruh pola pemikiran dan tata kehidupan masyarakat yang beragama hindu, tetap mendasarkan pada ajaran-ajaran agama hindu yang mereka yakini (pudja, 19977:192).
Kembali kepada teori Soerjono Soerkarnto yang mengemukakkan bahwa hukum Adat bersumebr dari perkembangan perilaku yang berproses melalui cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat, baru kemudian menjadi hukum adat, akan semakin mempertegas mengenai pembuktian adanya hukum hindu menjiwai hukum adat. Namun kerangka teori ini akan melahirkan adat mruni, karena ia bersumberkan kepada perilaku menjadi manusia, baik personal maupun umum. Dalam proses menjadikan kebiasaan, tata dan adat istiadat, Dharmasastraatau hukum hindu sedikit banyak memberi pengaruh, berhubung kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat itu dibatasi oleh suatu norma-norma sosial dan norma-norma agama yang besumber langsung dari Wahyu Tuhan. Hukum Hindu dalam pembahasan dimuka dinyatakan pada rta.
Meskipun dibentangkan secara tersirat dari beberapa uarain di depan,terkecuali menegakkan keberadaan hukum hindu yang menjiwai hukum adat, sebenarnya dengan sendirinya juga mencangkup pengertian hukum hindu menjiwai kebiasaan. Kebiasaan ini dibatasi dalam kontek-nya yang berakibat pada hukum adat. I ketut Artadi menggambarkan kebiasaan itu demikian :”dalam aspek lain hubungan antara warga ini menonjol juga dalam hal pentaatan terhadap kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati yang dapat berupa tata susila, sopan santun, hidup dalam pergaulan di suatu desa, yang sedemikian dianggap patut seperti cara bertegur sapa, tolong-menolong orang yang kena musibah, ssaling tolong dalam menanam padi, saling membantu dalam soal membuat rumah dll. “(Artadi, 1987:2). Komponen ini terdiri dari pernyataan tersebut berturut-turut adanya pentaatan dari warga, kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati, dan output berupa kebiasaan tolong-menolong.
Ide-ide untuk mematuhi norma sosial dan norma agama, sehingga melahirkan perilaku sosial yang tolong menolong, seperti terdapat dalam komponen tersebut di atas merupakan ide-ide yang melahirkan hukum adat. Dengan demikian terdapat hubungan berantai dan estafet : dari hukum Hindu menjiwai hukum adat, dan penjiwaan itu mengalir juga menjiwai kebiasaan.
Pembuktian adanya pengaruh hukum hindu terhadap adat telah terbukti sejak berdirinya kerajaan Hindu di indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja ketika membahas dimulainya pertumbuhan hukum Hindu. Gde Pudja mengatakan, bagian-bagian dari sejarah dan pasal-pasal dalam Dharmasastra dioperalihkan dan digunakan sebagai hukum pada masa kerjaan Hindu di Indonesia. Bukan pada masa Hindu saja, karena secara tidak disadari bahwa hukum itu hindu masih tetap berlaku dan berpengaruh pula dalam hukum positif di indonessia melalui bentuk-bentuk hukum adat. Bentuk secara dan kehidupan hukum hindu yang paling nyata masih tersa sangat berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan lombok, sebagai hukum yang berlaku hanya bagi golongan Hindu semata-mata (Pudja, 1977:34). 
Team research FM dan PM Universitas Udayana Denpasar dalam penelitiannya terhadap pengaruh agama hindu terhadap hukum pidana adat di Bali, menunjukkan adanya pengaruh hukum hindu dalam jenis pelanggaran susila ini : Lokika,Sanggraha, Amandel Sanggama, Gamia Gamana, salah krama, dati krama, dan wakparusya. (team research FM & PM Udayana Denpasar, 1975 : 47).
Semua jenis hukum adat tersbut pernah diterapkan dalam peradilan. Kerta di Bali semasa jaman penjajahan Hindu Belanda di indonesia. Dari kepuusan-keputusan raad kerta kita mendpatkan kesimpulan bahwa bentuk hukum perdata, terutama hukum waris dan perkawinan menempati skala pelanggaran terbesar dibandingkan bentuk hukum lainnya.
Apabila skala pengaruh hukum hindu terhadap hukum adat ditinjau secara makro, maka kita harsu bertolak pada tiga hal pokok yang dipakai tumpuan memahami eksistensi hukum adat Bali secara lebih mendasar. Ketiga hal pokok itu adalah Tri Hita Karana, yakni adanya upaya umum masyarakat itu sendiri. Upaya menegakkaan keseimbangan hubungan masyarakat secara keseluruhan dengan alam Ketuhanan.
Berbagai pengaruh hukum hindu terhadap hukum adat sebagaimana contoh yang dikedepankan di atas, menunjukkan skala pengaruh hukum hindu terhadap hukum adat pada dimensi “Pawongan”dan”palemahan”.
Adanya pengaruh hukum hindu terhadap hukum adat, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hukum adat itu tidak ada. Gde Pudja mengatakan, hukum adat haruslah tetap ada, sebagai kadiah yang asli pada masyarakat primer. Namun sejauh ini pembuktian untuk membedakan hukum adat dengan hukum hindu, belum banyak dilakukan. Kalau ada, penulisan ini belum sampai melihat kemungkinan bahwa hukum itu bersumber pada Hukum Hindu. (Pudja, 1977:34).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar