TUGAS NITISASTRA
PEMBANGUNAN
MENURUT KONSEP HINDU SECARA FISIK BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI
Dosen Pengampu : Drs. I Wayan
Darna, M.Pd
TUGAS NITISASTRA
PEMBANGUNAN
MENURUT KONSEP HINDU SECARA FISIK BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI
Dosen Pengampu : Drs. I Wayan
Darna, M.Pd
OLEH
KOMANG SUDIASA
NIM : 10.1.1.1.1.3833
NIM : 10.1.1.1.1.3833
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA
ACARYA
INSTITUT HINDU
DHARMA NEGERI DENPASAR
2013
PEMBANGUNAN
MENURUT KONSEP HINDU SECARA FISIK BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI
(oleh : Komang
Sudiasa)
I.
PENDAHULUAN
Asta
Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata
letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat
suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual
dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa)
membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga,
perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh
sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang
hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak
mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada
zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14,
juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi
dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para
arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida
Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan
tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk
membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu
sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk
Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa
arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara
pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari
pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini
bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan
memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat
Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan
manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos).
Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan
anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan
tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai
fengsui Hindu Bali.
Asta
Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan
suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya.
Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah.
Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
- Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan
mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
- Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia
dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang
terbuka)
- Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang
tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Jadi nanti besar rumahnya akan ideal
sekali dengan yang empunya rumah. Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung
(makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa
digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti :
- Bhur alam semesta, tempat
bersemayamnya para dewa.
- Bwah, alam manusia dan kehidupan
keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan
materialisme
- Swah, alam nista yang menjadi
simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk
berbuat menyimpang dari dharma.
Selain itu juga Konsep ini berpegang
juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu
memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:
- Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur
ditempatkan di Selatan,
- Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan
menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit.
- Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan
di Utara dimana Gunung berada begitu seterusnya.
Selain itu sosial status juga
menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau
Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang
banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini.
Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Warna itu merupakan sistem hirarki,
di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya.
Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:
- jaba untuk bagian paling luar
bangunan
- jaba jero untuk mendifinisikan bagian
ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah.
II. PEMBAHASAN
2.1
Landasan Asta Kosala Kosali
a.
Landasan Filosofi Hubungan Bhuwana
Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis
bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta
adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam
Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi.
Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan
filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan
hidup manusia di dunia ini.
b. Unsur- unsur
pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan
adalah dilandasi oleh Tri Hita Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga).
Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur
Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan
Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para
Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
c.
Landasan Etis
Tata nilai dari
bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di
arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir).
Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri
Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu
Utama, Madya dan Kanista Mandala.
·
Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan
lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya
Parisudha.
d.
Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya
selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon
ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan
Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir
dan batin.
2.2
Konsepsi
Perwujudan Pembangunan/Perumahan Umat Hindu
Konsepsi Perwujudan perumahan umat
Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata
bangunan yang dapat dibagi dalam :
1.
Keseimbangan Alam
Wujud perumahan umat Hindu
menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta
(lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan
tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan
istilah Tri Hita Karana.
2.
Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk
hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari,
arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya.
Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang
yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
3.
Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara
garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk
penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama
Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya:
kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri
Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang
terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
4.
Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan
diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan
prinsip- prinsip bangunan Hindu.
2.3 Syarat-syarat
di dalam membangun suatu Pembangunan
1. Pemilihan Tanah Pekarangan.
Tanah yang dipilih untuk lokasi
membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara,
pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas). Tanah
yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
- karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
- karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan
dengan persimpangan jalan),
- karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh
lorong (jalan)
- karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/
jalan),
- karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
- karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
- karang tenget,
- karang buta salah wetu,
- karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan
sama tinggi),
- karang suduk angga, karang manyeleking dan yang
paling buruk adalah
- tanah yang berwarna hitam- legam, berbau
“bengualid” (busuk)
Tanah-
tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi
membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang
ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara
pamarisuda.
2. Membangun
Rumah yang Bertingkat, bersusun dan
pekarangan sempit
a. Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan,
penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk
itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat
pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena
keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas
dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun
Karang dan Natar.
b. Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak
memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat
tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
c. Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak-
tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran
ditempatkan di bagian hulu ruangan.
3.Dewasa dan
Upacara yang dilaksanakan di dalam membangun Rumah
a. Dewasa
Membangun Rumah
- Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng,
Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi. Sasih: Kasa,
Ketiga, Kapat, Kedasa.
- Nasarin. Watek: Watu. Wewaran:
Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi. Sasih:
Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
- Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma,
Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
- Mengatapi. Wewaran : Beteng, was,
soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Dewasa ala : geni
Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
- Memakuh/ Melaspas. Wewaran :
Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Sasih :
Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa. (Ida Bagus Anom paketan :2010:117).
b. Upacara Membangun Rumah.
- Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis
upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l,
ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah”
dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh
genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng,
sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang +
pipis.
- Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang,
nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam
berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh-
isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng
gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
·
Upakara Pemelaspas. Upakaranya
: jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam
putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati,
ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis,
uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan
uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka
upacara. upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.
(upacara/upakara paumahan lan Mrajan:2007:13-27).
5. Bentuk Bangunan Bali
Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di
Indonesia , bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri dan kepribadian
tersendiri. Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan
dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka
yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal
untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta
Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan
berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain
dalam mendirikan suatu bangunan . Pengaruhnya terlihat pada Bentuk, Dari segi perbandingan
ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan
badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara
fisik dan tingkat kastanya.
Bentuk rumah Bali, pada dasarnya
bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap , tetapi beberapa
bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan
atau satu tembok. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai
konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar
tersebut adalah:
- Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
- Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga
Mandala
- Konsep keseimbangan kosmologi
- Konsep proporsi dan skala manusia
- Konsep court, Open air
- Konsep kejujuran bahan bangunan
Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:
- Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
- Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali.
- Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali,
seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya
III. SIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik
sebuah kesimpulan, Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan
untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di
dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Adapun landasan yang dipakai
dalam pembangunan menurut asta kosala kosali seperti ada landasan bhuana alit
dengan bhuana agung, unsur-unsur pembentuk, landasan etnis, landasan ritual,
dalam pembuatan suatu pembangunan tidak hanya melihat landasannya saja, akan
tetapi juga memperhatikan tanah, tempat rumah tinggal yang akan dibangun selain
itu juga harus melaksanakan suatu upacara sebelum dan setelah pembangunan rumah
seperti upacara melaspas, upacara ngruwak. Pembangunan umat Hindu selalu
berpedoman pada asta kosala kosali tanpa harus menyampingkan desa kala patra.
OLEH
KOMANG SUDIASA
NIM : 10.1.1.1.1.3833
NIM : 10.1.1.1.1.3833
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA
ACARYA
INSTITUT HINDU
DHARMA NEGERI DENPASAR
2013
PEMBANGUNAN
MENURUT KONSEP HINDU SECARA FISIK BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI
(oleh : Komang
Sudiasa)
I.
PENDAHULUAN
Asta
Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata
letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat
suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual
dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa)
membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga,
perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh
sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang
hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak
mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada
zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14,
juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi
dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para
arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida
Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan
tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk
membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu
sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk
Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa
arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara
pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari
pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini
bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan
memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat
Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan
manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos).
Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan
anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan
tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai
fengsui Hindu Bali.
Asta
Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan
suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya.
Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah.
Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
- Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan
mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
- Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia
dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang
terbuka)
- Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang
tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Jadi nanti besar rumahnya akan ideal
sekali dengan yang empunya rumah. Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung
(makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa
digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti :
- Bhur alam semesta, tempat
bersemayamnya para dewa.
- Bwah, alam manusia dan kehidupan
keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan
materialisme
- Swah, alam nista yang menjadi
simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk
berbuat menyimpang dari dharma.
Selain itu juga Konsep ini berpegang
juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu
memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:
- Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur
ditempatkan di Selatan,
- Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan
menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit.
- Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan
di Utara dimana Gunung berada begitu seterusnya.
Selain itu sosial status juga
menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau
Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang
banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini.
Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Warna itu merupakan sistem hirarki,
di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya.
Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:
- jaba untuk bagian paling luar
bangunan
- jaba jero untuk mendifinisikan bagian
ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah.
II. PEMBAHASAN
2.1
Landasan Asta Kosala Kosali
a.
Landasan Filosofi Hubungan Bhuwana
Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis
bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta
adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam
Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi.
Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan
filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan
hidup manusia di dunia ini.
b. Unsur- unsur
pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan
adalah dilandasi oleh Tri Hita Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga).
Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur
Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan
Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para
Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
c.
Landasan Etis
Tata nilai dari
bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di
arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir).
Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri
Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu
Utama, Madya dan Kanista Mandala.
·
Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan
lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya
Parisudha.
d.
Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya
selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon
ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan
Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir
dan batin.
2.2
Konsepsi
Perwujudan Pembangunan/Perumahan Umat Hindu
Konsepsi Perwujudan perumahan umat
Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata
bangunan yang dapat dibagi dalam :
1.
Keseimbangan Alam
Wujud perumahan umat Hindu
menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta
(lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan
tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan
istilah Tri Hita Karana.
2.
Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk
hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari,
arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya.
Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang
yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
3.
Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara
garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk
penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama
Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya:
kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri
Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang
terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
4.
Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan
diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan
prinsip- prinsip bangunan Hindu.
2.3 Syarat-syarat
di dalam membangun suatu Pembangunan
1. Pemilihan Tanah Pekarangan.
Tanah yang dipilih untuk lokasi
membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara,
pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas). Tanah
yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
- karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
- karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan
dengan persimpangan jalan),
- karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh
lorong (jalan)
- karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/
jalan),
- karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
- karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
- karang tenget,
- karang buta salah wetu,
- karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan
sama tinggi),
- karang suduk angga, karang manyeleking dan yang
paling buruk adalah
- tanah yang berwarna hitam- legam, berbau
“bengualid” (busuk)
Tanah-
tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi
membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang
ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara
pamarisuda.
2. Membangun
Rumah yang Bertingkat, bersusun dan
pekarangan sempit
a. Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan,
penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk
itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat
pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena
keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas
dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun
Karang dan Natar.
b. Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak
memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat
tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
c. Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak-
tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran
ditempatkan di bagian hulu ruangan.
3.Dewasa dan
Upacara yang dilaksanakan di dalam membangun Rumah
a. Dewasa
Membangun Rumah
- Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng,
Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi. Sasih: Kasa,
Ketiga, Kapat, Kedasa.
- Nasarin. Watek: Watu. Wewaran:
Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi. Sasih:
Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
- Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma,
Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
- Mengatapi. Wewaran : Beteng, was,
soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Dewasa ala : geni
Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
- Memakuh/ Melaspas. Wewaran :
Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Sasih :
Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa. (Ida Bagus Anom paketan :2010:117).
b. Upacara Membangun Rumah.
- Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis
upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l,
ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah”
dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh
genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng,
sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang +
pipis.
- Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang,
nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam
berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh-
isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng
gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
·
Upakara Pemelaspas. Upakaranya
: jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam
putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati,
ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis,
uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan
uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka
upacara. upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.
(upacara/upakara paumahan lan Mrajan:2007:13-27).
5. Bentuk Bangunan Bali
Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di
Indonesia , bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri dan kepribadian
tersendiri. Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan
dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka
yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal
untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta
Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan
berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain
dalam mendirikan suatu bangunan . Pengaruhnya terlihat pada Bentuk, Dari segi perbandingan
ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan
badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara
fisik dan tingkat kastanya.
Bentuk rumah Bali, pada dasarnya
bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap , tetapi beberapa
bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan
atau satu tembok. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai
konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar
tersebut adalah:
- Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
- Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga
Mandala
- Konsep keseimbangan kosmologi
- Konsep proporsi dan skala manusia
- Konsep court, Open air
- Konsep kejujuran bahan bangunan
Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:
- Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
- Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali.
- Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali,
seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya
III. SIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik
sebuah kesimpulan, Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan
untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di
dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Adapun landasan yang dipakai
dalam pembangunan menurut asta kosala kosali seperti ada landasan bhuana alit
dengan bhuana agung, unsur-unsur pembentuk, landasan etnis, landasan ritual,
dalam pembuatan suatu pembangunan tidak hanya melihat landasannya saja, akan
tetapi juga memperhatikan tanah, tempat rumah tinggal yang akan dibangun selain
itu juga harus melaksanakan suatu upacara sebelum dan setelah pembangunan rumah
seperti upacara melaspas, upacara ngruwak. Pembangunan umat Hindu selalu
berpedoman pada asta kosala kosali tanpa harus menyampingkan desa kala patra.
DAFTAR
PUSTAKA
Paketan Anom, Ida Bagus.2010.Membangun Karang Paumahan.Kayu Mas Agung :Denpasar
Pulasari, Jro Mangku, dkk.2008.cakepan Asta Kosala Kosali Lan Asta Bhumi.surabaya : Paramita.
Swastika Pasek. 2007.Upacara/upakara Paumahan lan Mrajan.Kayu Mas Agung: Denpasar
www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar