Selasa, 14 Januari 2014

NITISASTRA (KONSEP ASTA KOSALA-KOSALI)


TUGAS NITISASTRA
PEMBANGUNAN MENURUT KONSEP HINDU SECARA FISIK BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI

Dosen Pengampu : Drs. I Wayan Darna, M.Pd






TUGAS NITISASTRA
PEMBANGUNAN MENURUT KONSEP HINDU SECARA FISIK BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI

Dosen Pengampu : Drs. I Wayan Darna, M.Pd












OLEH
KOMANG SUDIASA
NIM : 10.1.1.1.1.3833

















JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2013
PEMBANGUNAN MENURUT KONSEP HINDU SECARA FISIK BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI
(oleh : Komang Sudiasa)

I.     PENDAHULUAN
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
  • Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
  • Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
  • Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah. Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti :
  1. Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
  2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme
  3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:
  • Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,
  • Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit.
  • Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu seterusnya.
Selain itu sosial status juga menjadi pedoman.  jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:
  • jaba untuk bagian paling luar bangunan
  • jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah.
II.      PEMBAHASAN
2.1    Landasan Asta Kosala Kosali
a.     Landasan Filosofi Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
b.     Unsur- unsur pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hita Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
c.     Landasan Etis
Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
·       Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha.
d.     Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

2.2    Konsepsi Perwujudan Pembangunan/Perumahan Umat Hindu
Konsepsi Perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
1.    Keseimbangan Alam
Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
2.    Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
3.    Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya: kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).


4.    Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
2.3 Syarat-syarat di dalam membangun suatu Pembangunan
1. Pemilihan Tanah Pekarangan.
Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas). Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
  1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
  2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
  3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
  4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
  5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
  6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
  7. karang tenget,
  8. karang buta salah wetu,
  9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
  10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
  11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)
            Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.

2. Membangun Rumah yang Bertingkat, bersusun dan  pekarangan sempit
a. Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
b. Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
c. Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.
3.Dewasa dan Upacara yang dilaksanakan di dalam membangun Rumah
a. Dewasa Membangun Rumah
  • Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi. Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
  • Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi. Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
  • Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
  • Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
  • Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa. (Ida Bagus Anom paketan :2010:117).
b. Upacara Membangun Rumah.
  • Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
  • Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
·         Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara. upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.
(upacara/upakara paumahan lan Mrajan:2007:13-27).

5. Bentuk Bangunan Bali
Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia , bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri dan kepribadian tersendiri. Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan . Pengaruhnya terlihat pada Bentuk, Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara fisik dan tingkat kastanya.
Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap , tetapi beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan atau satu tembok. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:
  1. Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
  2. Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
  3. Konsep keseimbangan kosmologi
  4. Konsep proporsi dan skala manusia
  5. Konsep court, Open air
  6. Konsep kejujuran bahan bangunan
Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:
  1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
  2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali.
  3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya
III.   SIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Adapun landasan yang dipakai dalam pembangunan menurut asta kosala kosali seperti ada landasan bhuana alit dengan bhuana agung, unsur-unsur pembentuk, landasan etnis, landasan ritual, dalam pembuatan suatu pembangunan tidak hanya melihat landasannya saja, akan tetapi juga memperhatikan tanah, tempat rumah tinggal yang akan dibangun selain itu juga harus melaksanakan suatu upacara sebelum dan setelah pembangunan rumah seperti upacara melaspas, upacara ngruwak. Pembangunan umat Hindu selalu berpedoman pada asta kosala kosali tanpa harus menyampingkan desa kala patra.
















OLEH
KOMANG SUDIASA
NIM : 10.1.1.1.1.3833


















JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2013
PEMBANGUNAN MENURUT KONSEP HINDU SECARA FISIK BERDASARKAN ASTA KOSALA KOSALI
(oleh : Komang Sudiasa)

I.     PENDAHULUAN
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
  • Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
  • Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
  • Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah. Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti :
  1. Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
  2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme
  3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:
  • Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,
  • Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit.
  • Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu seterusnya.
Selain itu sosial status juga menjadi pedoman.  jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:
  • jaba untuk bagian paling luar bangunan
  • jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah.
II.      PEMBAHASAN
2.1    Landasan Asta Kosala Kosali
a.     Landasan Filosofi Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
b.     Unsur- unsur pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hita Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
c.     Landasan Etis
Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
·       Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha.
d.     Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

2.2    Konsepsi Perwujudan Pembangunan/Perumahan Umat Hindu
Konsepsi Perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
1.    Keseimbangan Alam
Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
2.    Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
3.    Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya: kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).


4.    Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
2.3 Syarat-syarat di dalam membangun suatu Pembangunan
1. Pemilihan Tanah Pekarangan.
Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas). Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
  1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
  2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
  3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
  4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
  5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
  6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
  7. karang tenget,
  8. karang buta salah wetu,
  9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
  10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
  11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)
            Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.

2. Membangun Rumah yang Bertingkat, bersusun dan  pekarangan sempit
a. Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
b. Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
c. Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.
3.Dewasa dan Upacara yang dilaksanakan di dalam membangun Rumah
a. Dewasa Membangun Rumah
  • Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi. Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
  • Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi. Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
  • Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
  • Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
  • Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi. Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa. (Ida Bagus Anom paketan :2010:117).
b. Upacara Membangun Rumah.
  • Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
  • Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
·         Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara. upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.
(upacara/upakara paumahan lan Mrajan:2007:13-27).

5. Bentuk Bangunan Bali
Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia , bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri dan kepribadian tersendiri. Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan . Pengaruhnya terlihat pada Bentuk, Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara fisik dan tingkat kastanya.
Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap , tetapi beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan atau satu tembok. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:
  1. Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
  2. Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
  3. Konsep keseimbangan kosmologi
  4. Konsep proporsi dan skala manusia
  5. Konsep court, Open air
  6. Konsep kejujuran bahan bangunan
Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:
  1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
  2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali.
  3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya
III.   SIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Adapun landasan yang dipakai dalam pembangunan menurut asta kosala kosali seperti ada landasan bhuana alit dengan bhuana agung, unsur-unsur pembentuk, landasan etnis, landasan ritual, dalam pembuatan suatu pembangunan tidak hanya melihat landasannya saja, akan tetapi juga memperhatikan tanah, tempat rumah tinggal yang akan dibangun selain itu juga harus melaksanakan suatu upacara sebelum dan setelah pembangunan rumah seperti upacara melaspas, upacara ngruwak. Pembangunan umat Hindu selalu berpedoman pada asta kosala kosali tanpa harus menyampingkan desa kala patra.







DAFTAR PUSTAKA
Paketan Anom, Ida Bagus.2010.Membangun Karang Paumahan.Kayu Mas Agung :Denpasar
Pulasari, Jro Mangku, dkk.2008.cakepan Asta Kosala Kosali Lan Asta Bhumi.surabaya : Paramita.
Swastika Pasek. 2007.Upacara/upakara Paumahan lan Mrajan.Kayu Mas Agung: Denpasar

www.google.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar